Akademisi Ini Usul Aturan Ganti Rugi Penumpang Pesawat Terbang Direvisi
Terbaru

Akademisi Ini Usul Aturan Ganti Rugi Penumpang Pesawat Terbang Direvisi

Misalnya, besaran ganti rugi untuk penumpang pesawat terbang yang meninggal akibat kecelakaan sebesar Rp1,25 miliar dinilai tidak mumpuni lagi.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Dosen dan Praktisi Bidang Hukum Udara & Ruang Angkasa Universitas Prasetya Mulya, Ridha Aditya Nugraha (kanan atas) saat dalam kuliah umum, Selasa (19/4/2022). Foto: ADY
Dosen dan Praktisi Bidang Hukum Udara & Ruang Angkasa Universitas Prasetya Mulya, Ridha Aditya Nugraha (kanan atas) saat dalam kuliah umum, Selasa (19/4/2022). Foto: ADY

Pesawat terbang merupakan salah satu moda transportasi yang mengutamakan aspek keselamatan dalam penerbangan. Kendati demikian banyak hal yang bisa menyebabkan perjalanan pesawat terbang mengalami kendala atau bahkan mengalami kecelakaan. Ada sejumlah regulasi yang mengatur tentang angkutan udara, salah satunya Peraturan Menteri Perhubungan No.PM.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara.

Dosen dan Praktisi Bidang Hukum Udara & Ruang Angkasa Universitas Prasetya Mulya, Ridha Aditya Nugraha, mengatakan sedikitnya ada 2 peraturan yang melindungi penumpang pesawat terbang. Pertama, Permenhub No.77 Tahun 2011 dan Permenhub No.PM.89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Mangement) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.

Permenhub No.77 Tahun 2011 mengatur besaran kompensasi bagi penumpang pesawat yang meninggal dunia karena kecelakaan pesawat udara yakni Rp1,25 miliar. Jika penumpang meninggal dunia pada saat proses naik atau turun pesawat kompensasinya Rp500 juta.

Baca:

Menurut Ridha, besaran kompensasi itu tidak cukup mumpuni untuk saat ini. Dia mengusulkan besaran itu harus dievaluasi sesuai perkembangan keekonomian seperti inflasi. “Kami mendorong besaran kompensasi itu segera direvisi,” kata Ridha dalam Kuliah Umum bertema “Perkembangan Aspek Perdata Hukum Udara: Perspektif Nasional dan Internasional” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Selasa (19/4/2022).

Dalam pemberian kompensasi untuk penumpang pesawat itu kadang menghadapi persoalan. Ridha memberikan contoh kasus kecelakaan pesawat maskapai lokal pada tahun 2018 silam yang prosesnya membutuhkan waktu yang lama, sehingga keluarga korban tak kunjung mendapat kepastian ganti rugi yang jelas.

Hal itu salah satu celah Permenhub No.77 Tahun 2011 karena tidak mengatur perihal advance payment atau prinsip pembayaran ganti rugi yang didahulukan. Misalnya, besaran ganti rugi yang didahulukan sebesar 10 persen dari total kompensasi yang harus dibayar. Mekanisme pembayaran ini seharusnya bisa diatur agar keluarga korban bisa terbantu menjalankan kehidupannya setelah anggota keluarga mereka ada yang meninggal karena kecelakaan pesawat.

Ridha menjelaskan konsep advance payment ada dalam Konvensi Montreal tahun 1999. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Perpres No.95 Tahun 2016. Secara umum klausul yang ada dalam konvensi Montreal lebih memberikan perlindungan kepada penumpang. Sebaliknya Konvensi Warsawa tahun 1929 dinilai lebih berpihak pada maskapai penerbangan.

Konvensi Montreal juga mengatur besaran ganti rugi bagi penumpang pesawat terbang dievaluasi secara berkala, sehingga disesuaikan dengan inflasi setiap tahun. “Sehingga besaran ganti rugi bagi penumpang pesawat terbang yang meninggal karena kecelakaan bisa lebih besar nominalnya ketimbang yang diatur Permenhub No.77 Tahun 2011,” katanya.

Tags:

Berita Terkait