Akademisi Kritik RUU Penyiaran Versi Baleg DPR
Utama

Akademisi Kritik RUU Penyiaran Versi Baleg DPR

Revisi RUU versi Baleg dinilai lebih menguntungkan industri penyiaran ketimbang kepentingan publik. Masukan Koalisi diakomodasi sebagian.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Anggota Koalisi yang mengkritik RUU Penyiaran versi Baleg saat konperensi pers di Jakarta, Senin (03/7). Foto: EDWIN
Anggota Koalisi yang mengkritik RUU Penyiaran versi Baleg saat konperensi pers di Jakarta, Senin (03/7). Foto: EDWIN
Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) yang terdiri dari 160 akademisi dan praktisi serta 20 organisasi masyarakat sipil mengecam draf revisi RUU Penyiaran versi Badan Legislasi (Baleg) DPR tertanggal 19 Juni 2017. Mereka menilai RUU versi Baleg yang kini mulai dibahas tidak berpihak pada kepentingan publik dan secara terang-terangan lebih menguntungkan para pelaku bisnis industri penyiaran.

“Mereka (Baleg) menghasilkan sebuah draf RUU yang ternyata kami nilai sangat berpihak kepada kepentingan para pemodal besar dalam dunia industri penyiaran terutama televisi,” kata Nina Armando dari KNRP dalam konferensi pers pernyataan sikap KNRP Senin (3/7) di Kampus UI Salemba.

Nina, dosen Ilmu Komunikasi UI, menjelaskan KNRP sejak awal merasa draf RUU Penyiaran yang dihasilkan Komisi I masih bermasalah karena melenceng dari prinsip demokratisasi penyiaran. Anehnya, draf revisi Baleg tertanggal 19 Juni 2017 yang mereka terima ternyata jauh lebih bermasalah karena justru menghilangkan banyak substansi penting terkait hak-hak publik. KNRP menilai tindakan Baleg manipulative, karena draf yang disusun Baleg seolah versi baru yang menyimpang dari tugas Baleg untuk sekadar mengharmonisasi RUU sebelum dibawa ke sidang Paripurna DPR.

Ada sejumlah penambahan materi muatan di draf RUU Penyiaran versi Baleg yang semuanya dianggap mengabaikan kepentingan publik untuk mendapatkan siaran. Mulai dari hiburan yang berkualitas hingga berita objektif dan independen. KNRP menilai sejumlah perubahan yang dibuat Baleg memiliki kesamaan dengan usulan-usulan dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) yang mewakili industri penyiaran di berbagai forum aspirasi. (Baca juga: Revisi UU Penyiaran Sarat akan Kepentingan Pemodal).

Pertama, teknologi penyiaran yang dialihkan lebih canggih dari analog ke digital akan menghasillkan kelebihan frekuensi radio yang tidak lagi digunakan. Dalam draft RUU versi Baleg, sisa frekuensi ini secara otomatis diserahkan penguasaannya kepada perusahaan penyiaran yang telah memiliki izin tetap saat RUU diundangkan. Pengaturan versi Baleg ini akan membuat pemusatan penguasaan penyiaran pada pemain lama dalam industri penyiaran karena menguasai sekaligus frekuensi digital dan analog sebelumnya.

Bahkan prioritas kanal digital dalam alih teknologi penyiaran diprioritaskan draf versi Baleg kepada perusahaan penyiaran swasta besar dengan keringanan pajak atas pengadaan peralatannya. “Artinya, yang akan menguasai infrastruktur digitalisasi nanti adalah lembaga penyiaran swasta. Kami menolak itu, harusnya negara,” tegas Nina.

Menurut KNRP, seharusnya dengan digitalisasi frekuensi penyiaran maka sisa frekuensi analog dikembalikan kepada negara untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kesejahteraan publik karena frekuensi publik adalah juga sumber daya alam terbatas. Semestinya frekuensi ini dapat digunakan negara khusus siaran pendidikan, tanggap bencana, sosialisasi kesehatan, tambahan internet broadband dan sebagainya.  Sesuai Psal 33 UUD 1945, negara beranggung jawab menguasai sumber daya alam bagi kemakmuran rakyat.

Kedua,  Baleg menambahkan sebuah lembaga baru yang tidak ada dalam draf RUU dari Komisi I yaitu pembentukan wadah tunggal Organisasi Lembaga Penyiaran. Masalahnya, lembaga ini akan berisi perwakilan dari perusahaan-perusahaan penyiaran. Padahal salah satu kewenangan lembaga ini justru ikut menyusun cetak biru pengaturan digitalisasi penyiaran bahkan memutus penyelesaian pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) bersama-sama dengan Komisi Penyiaran Indonesia(KPI). “Ini aneh bukan?. Dialah yang diregulasi, kenapa dia menjadi regulator?” ujar Nina. 

Ketiga, masalah iklan rokok. Draf RUU Penyiaran Komisi I secara jelas melarang iklan rokok karena masuk kategori zat adiktif berdasarkan Pasal 113 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. KNRP membandingkan dengan lebih dari 140 negara di dunia yang telah menghapus iklan rokok dari media penyiaran untuk perlindungan anak dan remaja dari paparan zat adiktif. RUU Penyiaran versi Baleg jutsru mengubah apa yang sudah dilarang dalam draf versi Komisi I. (Baca juga: Klausula Larangan Iklan Rokok Masih Bisa Berubah).

Keempat, pengaturan siaran lokal yang tidak memperhatikan kebutuhan publik lokal di berbagai wilayah NKRI. Selama ini terjadi sentralisasi pemberitaan dari stasiun pusat jaringan yang memaksa publik menyimak lebih banyak muatan siaran sekitar Pulau Jawa ketimbang muatan siaran lokal. Kebutuhan masyarakat setempat tentang informasi siaran yang aktual mengenai lingkungan terdekat belum diatur dengan baik. Alasannya karena lebih murah bagi industri penyiaran untuk meneruskan siaran pusat alih-alih membentuk stasiun perwakilan daerah dengan muatan siaran lokal.

Sebagai contoh adalah sentralisasi siaran mudik di Pulau Jawa. “Apa pentingnya liputan mudik tentang jalur Nagrek yang macet atau tol Cipali untuk orang di Manado? Itu terjadi karena siaran kita tersentralisasi dari Jakarta,” jelas Nina.

Semangat yang ingin dibangun adalah desentralisasi dengan model Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Idealnya adalah SSJ di daerah mempunyai stasiun, sumber daya manusia, dan produksi berita sendiri di masing-masing daerah. Akan tetapi Baleg membuat konsep ini tersamar dengan revisi bahwa muatan siaran lokal dapat berbentuk muatan siaran lokal dari daerah lain seperti yang sudah terjadi selama ini. “Akal-akalan saja,” kata Nina.

Demikian pula soal pembatasan kepemilikan dari suatu lembaga penyiaran swasta. RUU Penyiaran tidak mengatur dengan jelas praktek pemusatan penguasaan penyiaran dari suatu grup perusahaan yang menyebabkan monopoli di tangan segelintir orang.

Nawawi Bahrudin, pengacara publik LBH Pers sekaligus pegiat di KNRP  melihat ada potensi persaingan usaha tidak sehat yang akan terjadi.  Nawawi berpendapat larangan mengenai holding company untuk perusahaan penyiaran sebetulnya sudah pernah ditegaskan Mahkamah Konstitusi lewat putusan. “Tidak boleh lagi ada satu grup perusahaan penyiaran swasta memiliki berbagai stasiun TV lewat anak perusahaannya,” ujarnya. (Baca juga: Soal RUU Penyiaran, Baleg Harusnya Melihat Putusan MK yang Lain).

Mengenai mekanisme pencabutan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), KNRP menilai draf revisi Baleg sangat janggal karena IPP hanya bisa dicabut terkait alasan administratif dan teknis, bukan pelanggaran isi siaran. Padahal aspek isi siaran adalah hal mendasar untuk menilai kinerja lembaga penyiaran dan pertimbangan penting untuk proses memperoleh izin penyiaran. 

Keberatan lainnya adalah pelibatan Dewan Pers pada sengketa terkait muatan jurnalistik dalam penyiaran. Padahal P3 dan SPS telah mengatur pemeriksaan isi siaran menjadi kewenangan penuh KPI. Kecurigaannya terletak pada komposisi Dewan Pers yang melibatkan perwakilan industri penyiaran. Sementara dalam KPI sepenuhnya adalah komisioner independen.

Tanggapan Anggota DPR
Anggota Komisi I DPR, Abdul Kharis Almasyhari, melalui sambungan telepon mengatakan sudah menerima pernyataan sikap KNRP tersebut melalui jejaring media sosial, meskipun belum memastikan apakah telah diterima secara resmi oleh Komisi I. “Saya belum cek ke kantor apakah sudah sampai atau belum,” katanya.

Politisi Fraksi PKS ini juga mengaku keberatan dengan berbagai perubahan materi yang dilakukan Baleg. “Kami akan berusaha mempertahankan draf yang sudah kami bahas hampir dua tahun,” ujarnya kepada hukumonline melalui sambungan telepon.

Baleg seharusnya melakukan harmonisasi. Terutama terkait ada tidaknya pengaturan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, sinkronisasi RUU tentang Penyiaran dengan Undang-Undang yang sudah ada, dan sistematika penulisan draft RUU. Dan berdasarkan ketentuan, Baleg sudah menghabiskan waktu lebih dari 5 bulan untuk harmonisasi dari jatah waktu maksimal 20 hari. “Mestinya Baleg bertugas mengharmonisasi, bukan kemudian malah membuat draf sendiri,” lanjutnya.

Kharis menampik tudingan Komisi I tak mengakomodasi kepentingan publik.  “Masukan itu sudah kita terima, akhirnya yang diputuskan Komisi I sejalan dengan mereka. Kita akomodir, kita sama dengan pendapat mereka, mereka nggak apresiasi, yang bener aja?”.

Memang, tidak semua masukan KNRP bisa diterima. Namun ia menjamin Komisi I akan tetap mengedepankan kepentingan publik sesuai peran DPR sebagai wakil rakyat.  Hal-hal paling prinsip dari usulan KNRP sudah diakomodasi dalam draf Komisi I. “Demi kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar, atas nama rakyat, kita ikuti ke arah mereka juga,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait