Akademisi Pidana Bicara tentang Penangkapan Terkait PSBB
Utama

Akademisi Pidana Bicara tentang Penangkapan Terkait PSBB

Jangan sampai penangkapan orang yang berkerumun menjadi kontraproduktif dengan upaya pencegahan wabah.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi corona. Ilustrator: BAS
Ilustrasi corona. Ilustrator: BAS

Kepolisian melakukan penangkapan terhadap belasan orang yang diduga melanggar aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus mengatakan, 18 orang itu diamankan lantaran tidak mengindahkan seruan jarak jarak (social distancing) meski telah tiga kali diperingatkan. Sebanyak 11 orang ditangkap lokasi di Bendungan Hilir, dan 7 orang lokasi di Sabang, Jakarta Pusat.

Selain itu, ada juga penangkapan 20 orang di Jakarta Utara. Ada yang ditangkap sedang berolah raga di tempat gym, ada yang di kafe, dan ada yang sedang nongkrong. Polisi menggunakan Pasal 93 juncto Pasal 9 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 218 KUHP untuk menjerat mereka yang ditangkap.

Penangkapan orang-orang yang berkumpul adalah buntut imbauan untuk menjaga jarak (social distancing) dan untuk tinggal/bekerja di rumah. Belakangan, polisi juga punya dasar yang kuat setelah Menteri Kesehatan menyetujui permohonan penetapan DKI Jakarta sebagai lokasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso, mengingatkan bahwa  penegakan hukum pidana bukan berarti perlu langsung melakukan penangkapan. Setelah suatu wilayah ditetapkan sebagai PSBB, polisi masih dapat menggunakan diskresi. Misalnya dengan memberikan peringatan kepada warga yang berkumpul agar tidak mengulangi perbuatannya.

Menangkap banyak orang berarti sama saja mengumpulkan mereka di satu tempat pada saat tertentu. Ini sama saja berseberangan dengan keinginan membatasi jarak orang per orang. “Jangan sampai penegakan hukum kontra produktif dengan upaya mencegah penularan jika menambah orang-orang yang ditahan,” ujarnya.

(Baca juga: Staatsnoodrecht dalam Pandangan Tiga Tokoh Hukum).

Menurut Topo Santoso, upaya penangkapan dan proses hukum yang dilakukan aparat kepolisian dapat dilihat sebagai kebalikan dari keinginan Kementerian Hukum dan HAM mengurangi penumpukan orang di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan. Pengurangan jumlah orang yang ditahan justru selaras dengan program pemerintah mencegah penyebaran coronavirus disease 2019 (Covid-19).

“Upaya pemerintah dan penegak hukum harus sinkron. Jangan beda-beda karena menimbulkan ketidakadilan. Jika situasi di gym seperti saudara ceritakan, juga terjadi pada berbagai tempat, apakah penegak hukum juga agak bertindak yang sama? Ini yang perlu dilihat lagi,” jelasnya.

Secara hukum, jelas Topo, penangkapan yang dilakukan karena melanggar larangan PSBB berpotensi dinyatakan tidak sah jika dilakukan sebelum ada penetapan PSBB. Artinya, saat penangkapan tanpa dasar hukum yang kuat. Itu sebabnya, ia menyarankan kepolisian bertindak lebih persuasif, seperti memberi peringatan atau penyadaran.

Namun jika aturan PSBB sudah berlaku di suatu daerah maka seharusnya hanya pelayanan tertentu saja yang boleh beroperasi. “Jika PSBB sudah efektif berlaku di satu daerah maka ya hanya pelayanan tertentu yang boleh buka. Sila dicek saja di PP-nya. Ini baru di-juncto-kan dengan UU Kekarantinaan Kesehatan,” jelasnya.

Delik materil

Pengajar hukum pidana Universitas Lambung Mangkurat  Banjarmasin, Daddy Fahmanadie, berpendapat bahwa delik yang terkait larangan-larangan dalam PSBB merupakan delik materiil. Upaya penangkapan atau proses hukum atas sejumlah orang yang diduga tidak mematuhi larangan-larangan dalam PSBB perlu melihat akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan berkumpul tersebut. Misalnya, akibat berkumpul tersebut salah seorang dinyatakan positif corona.

Menurut Dedy, begitu ia biasa disapa, jika melihat kontstruksi bahwa polisi menggunakan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan, maka secara normatif apakah kausalitas dalam pasal itu sudah ditafsirkan sedemikian rupa sehingga orang yang melaksanakan aktivitas minum dan makan di cafe atau melakukan gym sudah berakibat pada darurat kesehatan.

“Ini yang masih perdebatan karena tekstual sekali normanya Pasal 93. Menurut saya materil deliknya, sehingga butuh akibat perbuatan tersebut. Kalau ada (akibatnya) lantas penegakan hukum terjadi di situ, maka saya melihatnya ini absolut. Artinya bahwa pandangan yang digunakan adalah efek jera. Sementara kita belum jelas apakah unsur pasalnya bisa kenakan atau tidak seyogyanya tindakan preventif dan jangan sampai represif,” ujarnya.

Apalagi jika di daerah penangkapan belum ditetapkan PSBB. Langkah semacam ini, menurut Dedy, terbilang prematur sepanjang dasar hukum yang dipakai adalah larangan dalam status PSBB. Senada dengan Topo, Dedy berharap aparat kepolisian lebih menggunakan tindakan persuasif daripada melakukan tindakan represif.

Bagaimana jika aparat penegak hukum menggunakan Pasal 218 KUHP? Menurut Dedy, penggunaan pasal ini juga tak mudah sebab ada kata ‘berkerumun’, yaitu perbuatan berkelompok yang lebih dari satu orang dilakukan secara tidak sah  dan perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak tenteram dan tidak damai. “Bagaimana mungkin orang yang sedang makan atau berjualan kemudian olahraga itu dikatakan sebuah ancaman? Tentu sulit sehingga saya kira konteksnya akan tidak sampai pada kategori PSBB dimaksud maka ketegasan PSBB dsini haruslah bersandarkan instrumen ketentuan hukum yang jelas sebab dalam penormaan UU dikenal prinsip lex certa,” jelasnya.

Pasal 218 KUHP menyebutkan: “Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp9.000”.

(Baca juga: Simak Yuk! Dosen-Dosen Hukum Tata Negara Bicara tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Senada dengan pandangan sejumlah akademisi hukum tata negara, Dedy berpendapat ukuran pelanggaran PSBB itu harus jelas agar tidak gampang disalahgunakan aparat penegak hukum. Misalnya, bagi mereka yang harus keluar rumah untuk mencari nafkah, para pemilik toko yang harus membuka tokonya agar bisa melanjutkan hidup, dan warga masyarakat lainnya yang memang mendapatkan penghasilan harian. Mereka sangat mungkin berada dalam kondisi ‘kerumunan’ karena pekerjaan. Warga yang seperti ini perlu mendapat perlindungan hukum.

“Kepastian hukum di masa pandemi ini sekali lagi sangat perlu dikedepankan shingga bagaimana penegakan hukum dan pencegahan bisa berjalan maksimal setidaknya meskipun bukan karantina wilayah tetapi menurut saya dalam konteks PSBB aturannya harus komprehensif sehingga implementasi pencegahan maksimal,” ujarnya.

Kritik atas penangkapan warga dalam rangka PSBB datang dari Asfinawati. Ketua Badan Pekerja Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini mengatakan penangkapan yang dilakukan aparat kepolisian jika berkaitan dengan PSBB tidak sah karena tidak punya dasar hukum yang kuat. Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan yang menjadi dasar kepolisian tidak cukup kuat menjadikan mereka sebagai tersangka.

Pasal 93 harus ada akibatnya baru bisa ditahan. Jadi, tidak semata perbuatan formil. Tidak perlu (penangkapan) harusnya yang dilakukan penyadaran. Lagipula saat itu kan belum ada PSBB,” ujarnya.

Selain itu tidak ada mekanisme yang jelas mengenai PSBB, misal bagaimana jika ada keramaian bagi mereka yang sedang mengantri makanan? Menurut Asfin PSBB harus ada mekanismenya kemudian diberlakukan dan setelah itu disosialisasikan. “Nah itu kalau gym tapi physiscal distancing gimana? kebingungan ini kan karena tidak ada ukuran,” tuturnya.

Meskipun DKI Jakarta telah ditetapkan PSBB lewat Surat Keputusan Menteri Kesehatan per hari ini (7/4), namun tidak serta merta aparat kepolisian bisa melakukan penangkapan dan proses hukum kepada mereka yang melanggar PSBB. “Harus ada akibat kedaruratan masyarakat, ini delik materil bukan formil,” pungkas Asfin.

Tags:

Berita Terkait