Alasan Koalisi Agar Pembahasan R-Perpres Pelibatan TNI Ditunda
Berita

Alasan Koalisi Agar Pembahasan R-Perpres Pelibatan TNI Ditunda

Karena draf R-Perpres masih memuat sejumlah pasal bermasalah yang dapat mengancam kebebasan sipil; mengganggu kehidupan demokrasi; merusak criminal justice system; dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih tugas dan fungsi antar kelembagaan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi TNI: HGW
Ilustrasi TNI: HGW

Setelah menerima berbagai masukan dari DPR terhadap penyusunan rancangan peraturan presiden (R-Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme, pemerintah melanjutkan pembahasan R-Perpres ini. Namun sayangnya, pembahasan digelar secara tertutup. Padahal DPR dan publik meminta agar pembahasan dilakukan terbuka. Namun begitu, ada sejumlah poin krusial yang harus diketahui publik dalam pembahasannya. Demikian keterangan pers Koalisi Masyarakat Sipil, Jumat (18/12/2012).

Anggota Koalisi Masyarakat Sipil, Julius Ibrani menilai pemerintah mengabaikan tuntutan publik dan masukan dari DPR agar pembahasan R-Perpres digelar secara terbuka untuk mencermati dan mengakomodir berbagai pandangan dari kelompok masyarakat sipil. Sebab, Koalisi melihat R-Perpres ini dinilai berpotensi mengancam kehidupan demokrasi dan sistem penegakan hukum.

Salah satunya, mengubah model penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia dari sistem sistem kontrol kejahatan melalui penegakan hukum (crime control model), menjadi model perang (war model). Terhadap hal itu, Koalisi mencatat terdapat beberapa poin krusial dalam R-Perpres tersebut yang perlu dibahas secara terbuka.

Pertama, beberapa pasal dalam draf tersebut bertentangan dengan UU di atasnya terkait pengaturan pengerahan kekuatan TNI. Dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, mengatur pelibatan militer dalam operasi militer selain perang (OMSP), antara lain mengatasi terorisme dapat dilakuakn setelah adanya keputusan politik negara.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (Sekjen PBHI) ini menerangkan keputusan politik negara merupakan keputusan presiden yang dikonsultasikan bersama dengan DPR sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 5 UU 34/2004. Dalam Pasal 8 ayat (2) draf R-Perpres, pengerahan TNI dalam mengatasi terorisme dapat dilakukan hanya cukup dengan dasar perintah presiden tanpa pertimbangan DPR.

“Rancangan Perpres ini menghilangkan mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 ayat (3) UU TNI,” ujar Julius Ibrani saat dikonfirmasi. (Baca Juga: Pelibatan TNI Tangkal Aksi Terorisme Harus Terbatas dan Spesifik)

Kedua, penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme sebagaimana diatur Pasal 14 R-Perpres ini. Pengaturan ini bertentangan dengan Pasal 66 UU 34/2004. Sebab, penggunaan anggaran di luar APBN oleh TNI tak sejalan dengan fungsi TNI yang bersifat terpusat (tidak didesentralisasikan). Sebab, anggaran TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur Pasal 66 UU 34/2004.

“Pendanaan di luar ketentuan UU TNI tersebut memiliki problem akuntabilitas dan menimbulkan beban anggaran baru di daerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun wilayahnya masing masing,” ujarnya.

Ketiga, R-Perpres ini memberi mandat yang sangat luas dan berlebihan bagi TNI untuk terlibat dalam penanganan terorisme tanpa diikuti mekanisme akuntabilitas yang jelas. Menurutnya, operasi penanganan terorisme oleh TNI dengan menjalankan fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan menjadi sangat berbahaya bila tidak tunduk dalam sistem peradilan umum.

“Sebab, jika terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar, mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas karena militer masih tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer dan belum tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum,” lanjutnya.

Anggota Koalisi lain, Al Araf melanjutkan poin keempat yakni fungsi penangkalan dalam draf R-Perpres sangat luas. Antara lain dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya sebagaimana diatur Pasal 3. Ironisnya, tak ada penjelasan rinci terkait dengan “operasi lainnya” itu.

Al Araf menilai pasal yang multitafsir ini berakibat TNI memiliki keleluasaan melakukan penanganan terorisme di dalam negeri secara luas. Dengan kewenangan luas dalam mengatasi aksi terorisme itu berakibat membuka ruang tumpang tindih tugas dan fungsi antara TNI dengan institusi keamanan lainnya (Polri).

“Dengan Polri, BIN, dan BNPT itu sendiri. Hal ini justru akan membuat pola penanganan terorisme menjadi tidak efektif dan menimbulkan overlapping tugas dan kerjanya.”

Direktur Eksekutif Imparsial ini menilai draf R-Perpres masih memuat sejumlah pasal bermasalah yang dapat mengancam kebebasan sipil. Kemudian mengganggu kehidupan demokrasi, merusak criminal justice system, dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih tugas dan fungsi antar kelembagaan di kemudian hari. “Karena itu, kami mendesak pemerintah untuk menunda pembahasan draf rancangan Perpres tersebut dan mengakomodir berbagai masukan dari kalangan masyarakat sipil,” pintanya.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin mengatakan Komisi I dan III telah menyampaikan pandangan-pandangannya terhadap materi muatan draf R-Perpres. Komisi III, kata Aziz, telah menyodorkan pandangan dan analisa hukumnya. Sedangkan masukan dari Komisi I, antara lain perlunya dibentuk badan pengawas yang berada di bawah pengawasan DPR. Bagi Aziz, usulan tersebut merupakan bentuk pengawasan sebagai amanat UU No.15 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Sementara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan dalam pembuatan Perpres tentang Pelibatan TNI diharuskan meminta pertimbangan DPR. Sebab, R-Perpres tersebut memuat substansi penting di dalamnya. Setelah mengantongi masukan dari Komisi I dan III, pemerintah bakal melakukan pembahasan di internal pemerintah.

Tags:

Berita Terkait