Persidangan perdana perkara pelanggaran HAM berat Paniai yang berlangsung di Makassar, Rabu (21/9/2021) kemarin dipantau berbagai pihak baik dari dalam dan luar negeri. Direktur Amnesty International sekaligus pengajar STH Indonesia Jentera, Usman Hamid, mengikuti jalannya persidangan itu dengan agenda pembacaan dakwaan.
“Kami sebenarnya berharap ini adalah pertanda adanya tanggung jawab negara dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat, khususnya di Tanah Papua. Apalagi setelah 18 tahun mati suri, Pengadilan HAM di Indonesia kembali diaktifkan,” kata Usman Hamid ketika dikonfirmasi, Jum’at (23/9/2022).
Usman menjelaskan agenda persidangan perdana itu pembacaan dakwaan terhadap satu-satunya terdakwa yakni Mayor Infantri (Purn) Isak Sattu. Dia mantan perwira penghubung Kodim 1705/Paniai. Terdakwa dikenakan 2 dakwaan yang sifatnya kumulatif. Pertama, Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedua, Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Baca Juga:
- Pelaku Pelanggaran HAM Berat Paniai Dikenakan 2 Dakwaan
- MA Siapkan Persidangan Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai
- Kejagung Tetapkan Tersangka Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai
Menurut Usman, terdakwa diadili atas dasar tanggung jawab komando atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh bawahannya yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dengan ancaman pidana minimal 10 tahun penjara dan maksimal pidana mati. Terdakwa juga diadili atas dasar tanggung jawab komando atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan, dengan ancaman pidana minimal 10 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara.
Tapi, Usman melihat ada yang hilang dari konstruksi dakwaan tersebut antara lain siapa pelaku kekerasan yang mengakibatkan remaja Paniai mengalami luka berat pada 7 Desember 2014. “Siapa pelaku peristiwa penembakan sejumlah remaja Paniai pada 8 Desember 2014, dan belum juga terlalu jelas relasi pidana antara para pelaku tersebut dengan terdakwa,” ujarnya.
Ia melihat dakwaan itu menunjukkan setidaknya ada 2 kejanggalan. Pertama, konstruksi dakwaan hanya melakukan penetapan pelaku tunggal dalam Tragedi Paniai 2014 sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi melalui “serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil”. Padahal, kejahatan tersebut telah melibatkan lebih dari satu pelaku.