Anak Muda Harus Peduli dan Kritis dalam Pemilu, Ini Alasannya
Terbaru

Anak Muda Harus Peduli dan Kritis dalam Pemilu, Ini Alasannya

Politisi muda belum tentu mewakili pemikiran orang muda, sehingga mengenali rekam jejak dan isu yang diusung oleh mereka adalah kunci penting.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit

Kebanyakan pemilih anak muda yang berpartisipasi dalam isu politik berdomisili di perkotaan dan hanya mengikuti isu-isu yang ada di perkotaan. Sebagian besar di antaranya pun banyak membicarakan politik lantaran kebutuhan dasar sehari-hari sudah terpenuhi, sehingga bagi pemilih anak muda seperti di pedesaan yang masih mengusahakan memenuhi kebutuhan dasarnya jarang membicarakan isu-isu politik.

Menurut Luthfi, hal ini tidak mengejutkan lantaran pada pemilu sebelumnya sebanyak 34,7 juta atau 15% orang diketahui memilih golput atau tidak menentukan pilihan. Salah satu penyebabnya adalah adanya polarisasi politik.

“Faktor utama polarisasi politik ini yaitu isu politik identitas. Sebanyak 34,7 juta orang golput itu rata-rata alasannya adalah para aktor politik yang menggunakan isu politik identitas yang mencoba memecah belah masyarakat indonesia sehingga banyaknya pemilih yang memutuskan untuk golput, meskipun memilih golput termasuk dalam keputusan politik dan itu hak pemilih,’’ ujar alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Meskipun demikian, besarnya angka partisipasi anak muda nyatanya tidak terlepas dari kekhawatiran anak muda itu sendiri dalam berbagai isu politik yang ada saat ini. Luthfi mengatakan, sebanyak 70% anak muda khawatir atau sangat khawatir terhadap berbagai isu. Di antara isu-isu tersebut adalah isu mengenai korupsi dan lingkungan hidup yang merupakan isu yang paling dikhawatirkan.

Untuk itu, Bijak Memilih hadir sebagai platform yang bertujuan agar masyarakat, khususnya orang muda bisa membuat pilihan yang didasari oleh informasi yang berkualitas. Besarnya persentase pemilih orang muda pada pemilu 2024 harus diiringi dengan meningkatnya kualitas dan berpikir kritis pemilih.

“Kami ingin orang muda harus keluar dari tokenisme sehingga para pemilih muda harus lebih cerdas dan kritis dalam memilih kandidat, karena politisi muda belum tentu mewakili pemikiran orang muda, sehingga mengenali rekam jejak dan isu yang diusung oleh mereka adalah kunci pentingnya,’’ kata dia.

Luthfi khawatir masyarakat sendiri yang menciptakan masalah tersebut, lantaran tidak kritis dan mengikuti gimmick kampanye yang diberikan. Ketika masyarakat tidak mempedulikan dan mulai kritis dengan bentuk kampanye yang tidak ada substansi tersebut, bukan tidak mungkin di pemilu selanjutnya para aktor politik tersebut tidak akan menggunakan gaya kampanye dengan mode gimmick lagi.

“Hal itu bisa dilihat dari bentuk kampanye saat ini yang mulai menggunakan model town hall atau berdialog dengan pemilih sebagai pilihan kampanye,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait