Anggota DPRD Papua Persoalkan Perppu Pilkada
Berita

Anggota DPRD Papua Persoalkan Perppu Pilkada

Majelis meminta pemohon menguraikan kerugian konstitusionalnya.

ASH
Bacaan 2 Menit
Tim kuasa hukum pemohon saat mengikuti persidangan di MK, Senin (17/11). Foto: Humas MK
Tim kuasa hukum pemohon saat mengikuti persidangan di MK, Senin (17/11). Foto: Humas MK
Mahkamah Konstitusui (MK) menggelar sidang perdana pengujian Pasal 203 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pilkada). Permohonan yang menyangkut pergantian kepala daerah ini dimohonkan oleh Yanni, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua.

Yanni menilai pengangkatan Wakil Kepala Daerah yang secara otomatis menggantikan kepala daerah yang berhenti secara langsung maupun tidak langsung telah menghalangi hak dan kesempatan bagi warga negara untuk menjadi kepala daerah.

“Keberadaan Pasal 203 ayat (1) Perppu Pilkada bertolak belakang dengan bagian menimbang huruf a dan huruf b Perppu itu sendiri bahwa untuk menjamin pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945,” kata Syahrul Arubusman selaku kuasa hukum pemohon dalam persidangan di ruang sidang MK, Senin (17/11).

Pasal 203 ayat (1) Perpu Pilkada berbunyi : “Dalam hal terjadi kekosongan gubernur, bupati, dan wali kota yang diangkat berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wali Kota menggantikan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sampai dengan berakhir masa jabatannya.”

Dia menilai ketentuan Pasal 203 ayat (1) itu bertolak belakang dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat yang demokratis sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.  Menurutnya, kedaulatan rakyat dan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.

Karena itu, seharusnya ketika kepala daerah berhenti tidak otomatis wakilnya menjadi kepala daerah. Namun, pemilihan kepala daerah dilakukan dengan kembali menggelar pilkada atau pemilihan kepala daerah melalui DPRD. “Pasal 203 ayat (1) Perppu Pilkada itu bertentangan dengan semangat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945,” tegasnya.

Dalam permohonan provisinya, pemohon meminta MK memerintahkan presiden dan menteri dalam negeri untuk menunda proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah sampai adanya putusan MK dalam perkara ini mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selain itu, pemohon meminta MK menghapus berlakunya Pasal 203 ayat (1) Perppu Pilkada karena dinilai bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

Ketua Majelis Panel Maria Farida Indrati mempertanyakan arah permohonan ini sekaligus legal standing (kedudukan hukum) pemohon dalam uji materi Perppu Pilkada ini.

“Yang Anda maksud pemohon disini kan Ibu Yanni, apa dia memang mau mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau berpotensi mencalonkan, ya? Sebab, disini Anda menyebutkan kalau akan ada kekosongan kepada daerah, maka harus dilakukan pilkada lagi?” tanyanya.

Menanggapi pertanyaan itu, Syahrul membenarkan. “Betul yang Mulia,” jawab Syahrul.

Maria Farida juga mengatakan MK akan mengabulkan permohonan provisi jika benar-benar dibutuhkan. “Apalagi MK tidak berwenang untuk memerintahkan presiden. Ini harus dipikirkan kembali,” ujar Maria mengingatkan.

Sementara anggota panel, Aswanto meminta pemohon untuk menguraikan kerugian atau  potensial kerugian yang bakal dialami pemohon akibat berlakunya Pasal 203 ayat (1) Perppu Pilkada ini. “Saudara harus menggambarkan kerugian aktual atau potensial agar bisa meyakinkan majelis. Ini yang belum nampak dalam permohonan,” kritiknya.

“Biaya pemiihan kepala daerah juga sangat mahal, apakah pemohon sudah mempertimbangkan hal tersebut?” ujarnya mengingatkan.
Tags:

Berita Terkait