Antara Perbaikan Draf dan Lemahnya Legitimasi UU Cipta Kerja
Utama

Antara Perbaikan Draf dan Lemahnya Legitimasi UU Cipta Kerja

Perbaikan draf UU Cipta Kerja setelah proses persetujuan DPR menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses pembentukan UU Cipta Kerja.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Dia melihat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU dalam paripurna hanya dagelan (formalitas). Tanpa draf final RUU Cipta Kerja, semestinya rapat paripurna tak dapat memberi persetujuan. Apalagi, UU Cipta Kerja berdampak besar terhadap berbagai sektor kehidupan masyarakat.

Informasi tentang draf RUU yang belum final, namun sudah disetujui menjadi UU boleh jadi kali pertama terjadi sepanjang pengambilan keputusan persetujuan RUU antara DPR dan pemerintah. Sebab, biasanya saat pengambilan keputusan saat rapat paripurna, semua materi muatan telah final dan diambil keputusan persetujuan.

Lemahnya legitimasi

Lebih lanjut, Sholikin menilai upaya perbaikan draf pasca persetujuan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses pembentukan UU Cipta Kerja. Potensi adanya perubahan materi yang sudah disahkan baik ditambah atau dihapus sangat dimungkinkan. Dia menilai, bila terjadi, UU tersebut dapat dinilai menyimpang dari proses formal pembentukan undang-undang.

Menurutnya, perbaikan naskah meskipun sebatas pada redaksi atau pengetikan setelah pengesahan tidak dapat dilakukan. Sebab, UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tak mengatur mekanisme tersebut. Karena itu, proses yang tidak akuntabel itulah berakibat pada lemahnya legitimasi keberlakuan UU Cipta kerja.

Lucius pun punya kehawatiran yang sama. Menurutnya, perbaikan draf UU pasca diparipurnakan, membuka peluang ruang “mengutak-atik” pasal sesuai selera penguasa, ataupun elit partai politik besar di legislatif. Karena itu, Lucius mengajak masyarakat memantau upaya perbaikan draf UU Cipta Kerja di Badan Legislasi. “Dugaan atau tuduhan di atas bukan isapan jempol. Utak-atik atau jual beli pasal sudah pernah terjadi sebelumnya. Itu dilakukan menjelang paripurna, tiba-tiba ada pasal selundupan dimasukkan,” tudingnya.  

Baginya, tidak adanya draf resmi di laman websiteDPR menunjukan sulitnya publik mengontrol proses pembahasan. Selain itu, menjadi berbahaya ketika draf resmi hanya berada di tangan DPR dan pemerintah. Sebab, hal ini berpeluang DPR dan pemerintah dapat semaunya mengubah pasal. “Bahkan pasal yang tak pernah dibahas di proses pembahasan pun bisa tiba-tiba muncul di naskah UU final nanti,” ujarnya.

Dia menilai berbagai kejanggalan soal status draf RUU Cipta Kerja menjelaskan adanya dugaan skenario pemerintah dan DPR yang sejak awal minim keterlibatan partisipasi publik untuk memberikan masukan, termasuk mengawal pembahasan. “Semua kejanggalan soal draf RUU ini menjelaskan betul bahwa ada skenario dari Pemerintah dan DPR sejak awal untuk ‘membunuh’ partisipasi publik. RUU Cipta Kerja hanya menjadi orderan kepentingan segelintir orang yang terlibat langsung.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait