Apa Kabar Perubahan Hukum Acara Perdata Nasional?
Mengupas Hukum Acara Perdata:

Apa Kabar Perubahan Hukum Acara Perdata Nasional?

Gagasan merevisi hukum acara perdata sudah lama diusung. Perlu mengakomodasi perkembangan teknologi dan kompleksitas transaksi, khususnya dalam pembuktian dan eksekusi putusan.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Teddy Anggoro, dosen hukum perdata bidang ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) justru menganggap hukum acara perdata sangat mendesak untuk direvisi. Pasalnya, hukum formil dalam sengketa perorangan antar warga masyarakat berkaitan erat dengan pemenuhan hak asasi mendapatkan keadilan. “Hukum acara itu tidak boleh kaku banget. Ini kan cara orang mendapat keadilan,” katanya saat diwawancarai hukumonline.

 

Perubahan tak hanya dalam hukum acara pada hukum perdata umum (HIR), tetapi juga hukum perdata khusus. Sebagai akademisi hukum ekonomi yang juga berpraktek advokat Teddy menilai ada dua isu penting dalam agenda revisi hukum acara perdata nasional. Pertama, mengenai aspek pembuktian yang harus menyesuaikan dengan kemajuan teknologi serta ragam model transaksi keperdataan. Kedua, mengenai eksekusi hasil putusan pengadilan yang selama ini banyak gagal dieksekusi dengan tidak adanya keterlibatan aparat penegak hukum. Alasannya karena aparat penegak hukum merupakan alat negara dalam bidang hukum publik dan bukan hukum privat.

 

Teddy menilai ada banyak perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang seharusnya dipertimbangkan sebagai metode bahkan alat bukti dalam prosedur peradilan perdata. “Kalau ditanya apa yang perlu kita ubah: pembuktian, sudah berubah banget (kebutuhannya),” ujar Teddy melalui sambungan telepon.

 

Teddy memberikan contoh mengenai kekuatan pembuktian akta otentik yang dibuat notaris dalam pembuktian di pengadilan perdata. “Contohnya, mana yang lebih kuat, akta notaris atau rekaman video atau CCTV yang menunjukkan orang bersepakat?” kata Teddy mengajukan pertanyaan.

 

Berdasarkan doktrin hukum perdata nasional peninggalan kolonial Belanda, kekuatan akta otentik merupakan alat bukti kuat. Dengan keterlibatan notaris sebagai pejabat umum yang diangkat negara untuk mengesahkan berbagai akta, setiap pihak yang memiliki akta otentik dari notaris akan dipertimbangkan hakim sebagai pihak yang meyakinkan.

 

(Baca juga: Sita Perdata, Terobosan Baru dalam RUU Tipikor)

 

Hal ini tidak terlepas dari doktrin hukum lainnya bahwa pembuktian pada peradilan perdata bersifat kebenaran formil sementara pada peradilan pidana bersifat materiil. Bahkan peran Hakim pun berbeda dimana Hakim akan bersifat aktif ikut meminta dihadirkannya bukti-bukti di persidangan perkara pidana. Jika Hakim merasa belum cukup bukti, mereka diharuskan ikut meminta dihadirkannya bukti-bukti lain untuk memberikan keyakinan atas suatu perkara.

 

Dalam persidangan perkara perdata peran hakim pasif hanya menunggu para pihak menghadirkan bukti-bukti untuk dipertimbangkan. Hakim hanya akan memutus perkara sebatas pada alat bukti yang dihadirkan padanya. Sebagian besar alat bukti yang diterima pada pengadilan perdata adalah alat bukti surat. Bagi Teddy, konsep tersebut sebenarnya memiliki ruh kolonialisme yang disisipkan dalam prosedur mencari keadilan. “Perdata harus (kebenaran) formil, pidana (kebenaran) materil, itu dulu dipakai Belanda untuk merebut tanah kita, kekayaan kita, dipaksakan pembuktian formil sehingga pasti orang kita kalah,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait