Argumen Himpasiling UI dan ICEL Tolak UU Cipta Kerja
Berita

Argumen Himpasiling UI dan ICEL Tolak UU Cipta Kerja

Mengajak civitas akademika dan aktivis lingkungan serta masyarakat sipil untuk terus mengkritisi dan mengawal implementasi kebijakan pemerintah yang berpotensi merusak lingkungan.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Suasana sidang paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES
Suasana sidang paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES

Dalam rapat paripurna Senin 5 Oktober 2020, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah telah mengesahkan RUU Cipta Kerja yang digadang-gadang bakal mendatangkan investasi dan menciptakan banyak lapangan kerja. Sontak, publik kembali dibuat kaget karena proses pembahasan hingga pengesahan yang hanya memakan waktu 7 bulan - terlebih dibahas di saat pandemi Covid-19 - begitu cepat.      

Protes dan kritikan dari sejumlah elemen masyarakat kembali dialamatkan kepada pembentuk UU lantaran proses pembahasan hingga pengesahan minim partisipasi publik yang berdampak besar. “Menolak pengesahan UU Cipta Kerja yang tidak aspiratif, meningkatkan perusakan lingkungan, dan menjadi resep yang salah bagi masalah ekonomi Indonesia,” ujar Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (Himpasiling UI), Priyaji Agung Pambudi saat dikonfirmasi, Rabu (7/10/2020).

Dia melihat ekonomi Indonesia memiliki penyakit lama yaitu competitiveness, ease of doing business, dan rasio foreign direct invesment (FDI) ke gross domestic product (GDP), serta rasio ekspor manufaktur (khususnya medium to high tech) yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lain. Akibatnya, ekonomi Indonesia sulit tumbuh diatas 6 persen dan pengentasan kemiskinan cenderung melambat. Diperlukan langkah strategis yang berlandaskan prinsip keselarasan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan untuk menyelesaikan persoalan secara tepat.

Di sisi lain, pendekatan yang diambil dalam RUU Cipta Kerja adalah Risk Based Approach (RBA) yaitu usaha dengan risiko kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) rendah, cenderung lebih sedikit dan/atau lebih cepat proses perizinannya.

Akan tetapi, dalam naskah akademis (NA), tidak ada kejelasan tentang batasan antara kategori rendah, sedang, dan tinggi, sehingga risiko kerusakan lingkungan naik drastis setelah pengesahan RUU Cipta Kerja. Di dalam NA tidak ada batasan yang tegas (safeguard) tentang kondisi lingkungan, adat, dan/atau situs sejarah yang tidak boleh “dikorbankan” untuk investasi.

“Kita menuntut adanya batasan (safeguard) yang tegas untuk aspek lingkungan dan budaya/kearifan lokal/adat/sejarah yang tidak boleh dikorbankan untuk investasi dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan regulasi turunannya,” pintanya. (Baca Juga: Bila RUU Cipta Kerja Disahkan Potensial Timbulkan Masalah Baru Sektor Perizinan)  

Baginya, Risk Based Approach menarik bagi investor yang perlu merambah hutan dan merusak lingkungan, tetapi tidak menarik bagi investor manufaktur export-oriented yang Indonesia butuhkan untuk menunjang terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan membutuhkan keseimbangan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (3P: Profit, People, and Planet).

Tags:

Berita Terkait