Aspek Hukum Antariksa dalam Kasus Satelit Artemis
Berita

Aspek Hukum Antariksa dalam Kasus Satelit Artemis

Indonesia yang merupakan negara kepulauan, fungsi satelit tidak sebatas untuk kepentingan telekomunikasi, melainkan juga remote sensing, disaster mitigation (mitigasi bencana) pertahanan hingga pendidikan.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

“Jadi karena di ruang angkasa tidak ada kedaulatan, maka jika ada benda asing diatas Indonesia, selama ia di ruang angkasa, maka Indonesia tidak akan bisa melakukan apapun,” jelas Ridha.

 

Hanya saja, kata Ridha, sampai saat ini persoalan pada ketinggian berapakah batasan ruang udara berakhir dan batasan ruang angkasa dimulai, masih belum diperoleh titik temu. Pasalnya, kata Ridha, persoalan delimitasi ruang udara dan ruang angkasa tersebut masih disidangkan di UNCOPUOS (the United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space) dan agenda ini telah berlangsung untuk waktu yang lama di Vienna.

 

Berbicara mengenai frekuensi satelit, kata Ridha, itu jelas masuk kedalam rezim dunia bukan national law dan domainnya berada dibawah wewenang ITU. Wewenang ITU dalam hal ini, sarat dengan kemanfaatan sinyal frekuensi sebagai sumber daya yang terbatas, karena tidak dimungkinkan terdapat 2 satelit atau lebih dengan sinyal dan frekuensi yang sama. Lain halnya jika berkaitan dengan peluncuran satelit, menurut Ridha itu merupakan persoalan lain.

 

Konvensi Internasional Soal Hukum Antariksa

Ketua Air and Space Law Studies Universitas Prasetya Mulya menjabarkan ada lima Konvensi Internasional yang mengatur soal ruang angkasa (antariksa), Pertama, The Outer Space Treaty 1967 yang mensyaratkan tujuan damai dalam penggunaan  ruang angkasa. Pembentukan traktat ini dilatarbelakangi kekhawatiran AS dan Blok Barat akan potensi ancaman peluncuran satelit pertama (sputnik) oleh Uni Soviet di ruang angkasa pada tahun 1957, mengingat jika dipersenjatai, ancaman di ruang angkasa bukan lagi soal perbatasan semata akan tetapi bisa saja terdapat pemasangan peluru kendali pada satelit yang suatu ketika dapat diluncurkan untuk menghancurkan suatu bagian di bumi secara tidak terduga.

 

Kedua, The Liability Convention 1972, yang mengatur soal subjek hukum yang harus bertanggungjawab manakala dalam peluncuran suatu satelit mengalami kegagalan yang menimbulkan kerugian. Spesifiknya, jelas Ridha, untuk mengetahui siapa yang bertanggungjawab, maka Ketiga, berdasarkan the Registration Convention 1976 harus jelas siapa atau negara mana yang terdaftar atas satelit tersebut.

 

Keempat, The Rescue Agreement 1968 yang mengatur keharusan dikembalikannya suatu satelit kepada (negara) pemiliknya tatkala satelit tersebut kembali ke permukaan bumi. Kelima, The Moon Agreement 1979 yang mengatur perihal kepentingan umat manusia di bulan.

 

“Indonesia telah meratifikasi semua konvensi Internasional soal ruang angkasa tersebut kecuali The Moon Agreement,” tukas Ridha.

 

Sekadar diketahui, hingga saat berita ini akan diterbitkan, baik pihak Kementrian Pertahanan maupun Kementerian keuangan enggan berkomentar saat dikonfirmasi soal macetnya pembayaran sewa satelit Artemis.

 

Tags:

Berita Terkait