Aspek Hukum Antariksa dalam Kasus Satelit Artemis
Berita

Aspek Hukum Antariksa dalam Kasus Satelit Artemis

Indonesia yang merupakan negara kepulauan, fungsi satelit tidak sebatas untuk kepentingan telekomunikasi, melainkan juga remote sensing, disaster mitigation (mitigasi bencana) pertahanan hingga pendidikan.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Aspek Hukum Antariksa dalam Kasus Satelit Artemis
Hukumonline

Berawal dari kekosongan pengelolaan pada slot L-band orbit 123 bujur timur (BT) yang diakibatkan oleh keluarnya Satelit Garuda milik Indonesia dari slot tersebut pada Januari 2015 lalu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan) mengadakan kontrak sewa satelit floater (sementara pengisi orbit) dengan Avanti Communications. Dalam kontrak tersebut disepakati Indonesia membayar sewa sebesar  US$ 30 juta, namun permasalahan terjadi saat Indonesia menunggak pembayaran sewa setelah membayar sebesar US$ 13.2 juta.

 

Alhasil, perusahaan asal Inggris tersebut mengajukan gugatan pada tahun 2017 ke London Courts of International Arbitration dan memenangkan gugatan tersebut, sehingga berdasarkan putusan arbitrase London ter-tanggal 6 Juni 2018 Indonesiadinyatakan berutang sebesar US$ 20 juta ke pihak Avanti.

 

Dari kasus tersebut muncul serentetan pertanyaan besar terkait seberapa penting Indonesia mengisi slot L-Band orbit 123 BT tersebut? dampak apa yang akan ditimbulkan bila Indonesia tidak mengisi slot tersebut? bagaimana hukum antariksa internasional mengatur soal peredaran satelit di ruang angkasa? Serta pihak mana yang akan bertanggungjawab ketika terjadi kegagalan peluncuran maupun pemindahan satelit yang mengacaukan fungsi satelit ataupun merusak satelit lain?

 

Ketua Air & Space Law Studies Universitas Prasetiya Mulya, Ridha Aditya Nugraha, menjelaskan bahwa slot orbit 123 BT itu masuk ke dalam geostationary orbit (GSO). GSO merupakan satu titik orbit yang terus konsisten berada pada titik tertentu di atas bumi, berbeda halnya dengan medium earth orbit (MEO) dan low earth orbit (LEO) yang berputar beberapa kali dalam satu hari perputaran bumi.

 

Begitu strategisnya letak GSO ini, kata Ridha, sehingga ada angka maksimum terkait berapa satelit yang bisa masuk GSO, berbeda halnya dengan low earth orbit yang bisa saja diluncurkan asalkan tidak bertubrukan dengan satelit lain.

 

“Sehingga tidak heran jika banyak negara berlomba-lomba memiliki slot pada GSO ini,” ujar Ridha kepada hukumoline, Selasa (12/6).

 

Sempat dikhawatirkan soal berlakunya prinsip first come first serve untuk GSO, sambung Ridha, yang mana hanya negara maju yang memiliki dana, teknologi dan mampu meluncurkan satelit yang bisa mendapatkan slot pada GSO ini. Namun, kehadiran International Telecommunication Union (ITU) memagari ambisi tersebut,sehingga negara-negara berkembang-pun tetap dapat memiliki akses slot pada GSO.

 

Hanya saja ada satu prinsip terkait pembagian slot yang ditentukan ITU, yakni negara yang memiliki slot tersebut wajib mengisi dan menggunakan slot. Ketika negara dalam jangka waktu yang ditentukan gagal mengirimkan satelitnya ke GSO, maka hak negara tersebut atas slot ini akan dialokasikan kepada negara lain (negara yang memegang urutan pertama dalam daftar tunggu).

 

(Baca Juga: Masyarakat Hukum Udara, ‘Thinktank’ Pemerintah dalam Mengatur Hukum Udara)

 

Lantas apa yang merugikan jika slot GSO Indonesia diberikan ke negara lain?  Ketua Air & Space Law Studies Universitas Prasetiya Mulya menjawab jika suatu saat Indonesia membutuhkan slot ini, maka Indonesia harus menunggu hingga jangka waktu yang tidak dapat diprediksi.

 

Terlebih, kata Ridha, jika slot tersebut diisi oleh negara maju yang memiliki space mindset serta memahami potensi komersialisasi ruang angkasa, maka umumnya jika slot tersebut sudah di tangan mereka maka akan sulit lepas ke negara lain, karena mereka akan terus mempertahankan slot pada orbit GSO tersebut.

 

Sementara, sambung Ridha, untuk Indonesia yang merupakan negara kepulauan, fungsi satelit tidak sebatas untuk kepentingan telekomunikasi, melainkan juga remote sensing, disaster mitigation (mitigasi bencana) pertahanan hingga pendidikan.

 

(Baca Juga: FH Unpad Gelar Konferensi Hukum Udara dan Angkasa)

 

Melalui remote sensing, suatu satelit dapat memfoto permukaan bumi menggunakan sensor, sehingga dapat diketahui misalnya jika terdapat kandungan mineral dan sebagainya pada titik bumi tertentu. Tidak hanya itu, lanjutnya, satelit ini juga dapat memonitor pergerakan-pergerakan strategis suatu negara, seperti pergerakan militer misalnya, kata Ridha.

 

“Bisa dibayangkan kalau slot GSO diatas Indonesia dikuasai asing yang memiliki kemampuan itu dengan niat tidak bersahabat, maka akan terjawab sendiri bagaimana fungsi suatu satelit dapat memperlemah pertahanan negara,” tukas Ridha.

 

Adapun dalam fungsi mitigasi bencana, satelit ini juga mampu mendeteksi potensi bencana. Seperti jika terdeteksi akan munculnya angin puyuh, badai, kebakaran hutan dan lainnya, maka akan langsung termonitor dan segera dapat disampaikan ke stakeholder terkait untuk diambil tindakan memitigasi resiko yang mungkin terjadi akibat bencana alam tersebut. Jadi jelas, kata Ridha, mempertahankan slot 123 BT ini merupakan langkah strategis yang harus diambil untuk menjaga kepentingan nasional Indonesia.

 

Menyewa atau Membeli Satelit Baru?

Seperti disebutkan sebelumnya, suatu negara diberikan tenggat waktu tertentu untuk mengisi dan memfungsikan satelit pada slot yang sudah ditentukan ITU dan tenggat waktu tersebut betul-betul tidak dapat diulur.

 

Dalam waktu sesingkat itu, papar Ridha, kegagalan Indonesia memenuhi mekanisme pengadaan barang yang begitu panjang akibat minimnya space mindset, mungkin akan mengakibatkan slot GSO Indonesia berpotensi berpindah ke tangan negara lain. Disamping itu, kata Ridha, untuk meluncurkan satelit pada GSO tetap memiliki resiko, sekalipun teknologi sudah semakin maju bahkan biaya yang akan dikeluarkan juga akan sangat mahal.

 

“Terlebih seringkali tersendat dengan lamanya proses birokrasi, serta waktu dirakitnya satelit baru untuk spesifikasi GSO, kemudian saat diluncurkan ke atas masih terdapat resiko kegagalan. Sehingga langkah paling strategis saat itu ialah mempertahankan slot 123 BT dengan menyewa satelit negara lain terlebih dahulu,” jelas Ridha.

 

Ridha-pun menganggap harga yang dikeluarkan Indonesia untuk menyewa satelit pada GSO ‘tidak ternilai’, ketimbang harus kehilangan satu slot GSO sebagai salah satu nilai strategis ketahanan Indonesia di ruang angkasa. Terkait besarnya denda yang dikenakan terhadap Indonesia, kata Ridha, satu hal yang menjadi dasar perhitungan ialah resiko yang berpotensi ditanggung saat memindahkan koordinat satelit Artemis, dari koordinat awal menuju koordinat 123 BT.

 

Bahkan, sambung Ridha, dalam the Liability Convention dan the Registration Convention disebutkan jika satu satelit menabrak, merusak, mengacaukan fungsi satelit lain atau bahkan serpihan satelit tersebut mengenai sehingga merusak satelit lain, maka akan menjadi tanggung jawab operator satelit. Bahkan untuk menghitung ganti kerugian tersebut tidak terbatas pada kerusakan yang ditimbulkan atau harga satelit semata, papar Ridha, tetapi juga diperluas hingga potensi keuntungan yang dapat diperoleh selama masa hidup satelit.

 

“Jadi kenapa angkanya bisa setinggi itu?, ya karena mengoperasikannya (memindahkannya) itu yang penuh resiko,” pungkas Ridha.

 

Tidak Berlaku Kedaulatan Negara di Antariksa

Jika di ruang udara masih berlaku soal yurisdiksi, jelas Ridha, maka lain halnya dengan ruang angkasa yang tidak memiliki yurisdiksi. Hal ini disebabkan ranah kedaulatan negara hanya mencapai batas ruang udara, sedangkan ruang angkasa terletak diatas ruang udara dimana tidak dikenal kedaulatan ruang angkasa.

 

“Jadi karena di ruang angkasa tidak ada kedaulatan, maka jika ada benda asing diatas Indonesia, selama ia di ruang angkasa, maka Indonesia tidak akan bisa melakukan apapun,” jelas Ridha.

 

Hanya saja, kata Ridha, sampai saat ini persoalan pada ketinggian berapakah batasan ruang udara berakhir dan batasan ruang angkasa dimulai, masih belum diperoleh titik temu. Pasalnya, kata Ridha, persoalan delimitasi ruang udara dan ruang angkasa tersebut masih disidangkan di UNCOPUOS (the United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space) dan agenda ini telah berlangsung untuk waktu yang lama di Vienna.

 

Berbicara mengenai frekuensi satelit, kata Ridha, itu jelas masuk kedalam rezim dunia bukan national law dan domainnya berada dibawah wewenang ITU. Wewenang ITU dalam hal ini, sarat dengan kemanfaatan sinyal frekuensi sebagai sumber daya yang terbatas, karena tidak dimungkinkan terdapat 2 satelit atau lebih dengan sinyal dan frekuensi yang sama. Lain halnya jika berkaitan dengan peluncuran satelit, menurut Ridha itu merupakan persoalan lain.

 

Konvensi Internasional Soal Hukum Antariksa

Ketua Air and Space Law Studies Universitas Prasetya Mulya menjabarkan ada lima Konvensi Internasional yang mengatur soal ruang angkasa (antariksa), Pertama, The Outer Space Treaty 1967 yang mensyaratkan tujuan damai dalam penggunaan  ruang angkasa. Pembentukan traktat ini dilatarbelakangi kekhawatiran AS dan Blok Barat akan potensi ancaman peluncuran satelit pertama (sputnik) oleh Uni Soviet di ruang angkasa pada tahun 1957, mengingat jika dipersenjatai, ancaman di ruang angkasa bukan lagi soal perbatasan semata akan tetapi bisa saja terdapat pemasangan peluru kendali pada satelit yang suatu ketika dapat diluncurkan untuk menghancurkan suatu bagian di bumi secara tidak terduga.

 

Kedua, The Liability Convention 1972, yang mengatur soal subjek hukum yang harus bertanggungjawab manakala dalam peluncuran suatu satelit mengalami kegagalan yang menimbulkan kerugian. Spesifiknya, jelas Ridha, untuk mengetahui siapa yang bertanggungjawab, maka Ketiga, berdasarkan the Registration Convention 1976 harus jelas siapa atau negara mana yang terdaftar atas satelit tersebut.

 

Keempat, The Rescue Agreement 1968 yang mengatur keharusan dikembalikannya suatu satelit kepada (negara) pemiliknya tatkala satelit tersebut kembali ke permukaan bumi. Kelima, The Moon Agreement 1979 yang mengatur perihal kepentingan umat manusia di bulan.

 

“Indonesia telah meratifikasi semua konvensi Internasional soal ruang angkasa tersebut kecuali The Moon Agreement,” tukas Ridha.

 

Sekadar diketahui, hingga saat berita ini akan diterbitkan, baik pihak Kementrian Pertahanan maupun Kementerian keuangan enggan berkomentar saat dikonfirmasi soal macetnya pembayaran sewa satelit Artemis.

 

Tags:

Berita Terkait