Aturan Gugurnya Paslon Pilkada Diuji, DPR Beri Penjelasan
Berita

Aturan Gugurnya Paslon Pilkada Diuji, DPR Beri Penjelasan

Pemohon hadirkan mantan hakim konstitusi sebagai ahli.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Foto: RES
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Foto: RES
Sidang lanjutan pengujian Pasal 54 ayat (5) UU No. 8 Tahun 2015  tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (Pilkada) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang yang menguji konstitusionalitas gugurnya pasangan calon pilkada ini mengagendakan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan seorang ahli yang diajukan Pemohon. Pemohon pengujian adalah calon Bupati Lampung Timur Erwin Arifin.

Dalam keterangannya, DPR menganggap Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada justru telah menjamin kepastian hukum yang adil dan kesamaan kedudukan hukum dan pemerintahan bagi semua warga negara khususnya dalam penyelenggaraan pilkada yang demokratis. Lagipula, pengaturan gugurnya pasangan calon (paslon) lantaran berhalangan tetap ini bentuk pembatasan yang ditentukan Undang-Undang yang diatur Pasal 28J ayat (1) UUD 1945.

“Justru kalau tidak ada Pasal 54 ayat (5) berpotensi mengganggu dan melanggar hak asasi orang lain yang sudah ditetapkan sebagai paslon untuk dipilih,” ujar Anggota Komisi III DPR Asrul Sani saat menyampaikan pandangan DPR dalam sidang uji materi UU Pilkada di ruang sidang MK, Selasa (12/4).

Asrul melanjutkan norma Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada sebetulnya sudah pernah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. “Memang UU Pilkada ini diperlukan secara segera karena tahun 2015 hingga awal 2016 dilaksanakan Pilkada Serentak,” kata Asrul.

Dia menjelaskan Pasal 5 UU Pilkada diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPU No. 2 Tahun 2015 yang mengatur tahap pendaftaran, jadwal penyelenggaraan, penetapan calon pasangan terpilih, hingga gugatan ke MK secara rigid dan bersifat ergo omnes (berlaku bagi paslon lain). Dengan begitu, apabila setelah tahapan kampanye hingga tahapan pemungutan suara masih dibuka ruang mengganti salah satu calon karena berhalangan tetap akan berimplikasi terganggunya tahapan dan penyelenggaraan pilkada.

“Tentunya, ini akan merugikan para pihak (paslon) lain karena Peraturan KPU itu berlaku secara nasional,” lanjutnya.

Menurutnya, sesuai prinsip hukum universal, “Tidak ada seorangpun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri” dan “Tidak seorangpun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain”. “Kondisi berhalangan tetap bukanlah penyimpangan/pelanggaran, tetapi kondisi ini jelas menimbulkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pilkada, bahkan bisa menyulut konflik,” dalihnya.

Ahli yang dihadirkan pemohon, mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, berpandangan sebaliknya. Menurutnya, Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada khususnya frasa “pasangan calon yang berhalangan tetap” tidak memiliki landasan konstitusional. Ini bentuk mengesampingkan hak konstitusional calon bupati untuk turut serta dalam pilkada karena calon yang meninggal dunia oleh konstitusi tidak diharuskan untuk dipilih.

Sebab, norma konstitusi yang paling berhak menentukan gugur atau tidaknya hak calon bupati dalam pilkada ketika calon wakilnya meninggal dunia, sehingga berhalangan tetap. Dengan begitu, kata Maruarat, permohonan ini beralasan dan norma yang diuji bertentangan dengan konstitusi apabila kematian calon wakil bupati mengakibatkan hak calon bupati untuk dipilih menjadi gugur. “Ini karena anggapan keduanya menjadi pasangan calon yang berhalangan tetap.”

Sebelumnya, calon bupati  Lampung Timur Erwin Arifin mempersoalkan aturan gugurnya pasangan calon dalam pilkada melalui uji materi Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada. Aturan itu menyebabkan Erwin gagal mengikuti Pilkada Serentak 2015 lantaran salah satu pasangannya Priyo Budi Utomo sebagai calon wakil bupati Lampung Timur telah meninggal dunia pada 4 April 2015 lalu.

Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada menyebutkan “Dalam hal pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara dan terdapat 2 (dua) pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaan Pemilihan dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan tetap tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur.”

Erwin merasa sangat dirugikan dengan berlakunya aturan itu karena secara otomatis pencalonannya sebagai calon bupati Lampung Timur gugur tanpa diberi hak mengganti calonlain. Menurutnya, frasa “tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur” dalam Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada menimbulkan diskriminasi, ketidakadilan dan menciderai kedaulatan rakyat. Sebab, aturan itu sama sekali tidak memberi jalan keluar atau kekosongan hukum ketika salah satu pasangan calonnya meninggal dunia.

Menurut Pemohon, frasa ‘pemilihan dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan tetap dinyatakan gugur’ dalam pasal itu seharusnya diterapkan secara hati-hati dan sungguh-sungguh memberi kesempatan partai pengusung mencari dan mengganti pasangan calon lain dalam jangka waktu yang wajar.
Tags:

Berita Terkait