Aturan Kepemilikan Pesawat Dipersoalkan ke MK
Berita

Aturan Kepemilikan Pesawat Dipersoalkan ke MK

Majelis mengganggap permohonan ini kasus konkret, bukan persoalan konstitusionalitas.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pemohon Prinsipal Sigit Sudarmaji saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang uji materi UU Penerbangan, Kamis (12/3). Foto: Humas MK
Pemohon Prinsipal Sigit Sudarmaji saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang uji materi UU Penerbangan, Kamis (12/3). Foto: Humas MK
Seorang pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian Perhubungan, Sigit Sumardji mempersoalkan ketentuan Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon yang mengklaim sebagai pengguna jasa menganggap ketentuan jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara ini bersifat diskriminatif bagi pengusaha yang hendak berbisnis penerbangan bermodal kecil.

Selain itu, Sigit Sudarmadji telah berkecimpung di dunia penerbangan selama 20 tahun di instansinya, berminat terjun di dunia penerbangan dengan modal yang terbatas. Namun, niat itu terbentur Pasal 118 ayat (1) huruf b, ayat (2) huruf a UU Penerbangan yang berisi ketentuan jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara oleh pemegang izin usaha angkutan udara niaga (komersil).  

Misalnya, Pasal 118 ayat (2) huruf a, mensyaratkan pelaku usaha angkutan udara niaga berjadwal harus memiliki paling sedikit lima unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani.   

“Kalau saya hanya ingin melayani tiga rute di satu provinsi saja cukup memiliki dua pesawat. Jangan paksa saya memiliki 10 pesawat. Karena kalau saya memiliki 10 pesawat, bisnis saya bisa mati karena hanya melayani tiga rute,” ujar Sigit dalam sidang perdana yang diketuai Arief Hidayat di Gedung MK, Kamis (12/3).

Dia menegaskan ketentuan batas minimal pesawat yang harus dimiliki tersebut bersifat diskriminatif. Sebab hanya pelaku usaha penerbangan bermodal besar saja yang bisa masuk ke bisnis penerbangan ini yang berakibat mematikan pelaku bisnis angkutan udara bermodal kecil. Terlebih, adanya keberadaan maskapai penerbangan asing yang tidak terikat dengan pasal itu.

“Pelaku usaha penerbangan asing tidak terkena pasal jumlah minimum kepemilikan pesawat. Sebab penerbangan asing telah disertifikasi masing-masing otoritasnya,” kata dia.

Lalu, aturan itu membedakan perlakuan pelaku usaha penerbangan dengan pelaku usaha moda transportasi lain. Sebagai contoh, dalam usaha pelayaran tidak ada aturan jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan kapal harus lebih dari kapal dalam UU Pelayaran.  

Di dunia pelayaran pun dikenal berbagai jenis usaha pelayaran mulai dari tingkat internasional, regional, domestik hingga pelayaran rakyat. “Seharusnya ada juga penerbangan rakyat berjadwal skala provinsi agar bisnis penerbangan di Indonesia bisa berkembang dengan sehat,” harapnya 

Ia melanjutkan aturan ini muncul pada 2009 dan berlaku pada 2011. Lalu pada 2015 pasal ini benar-benar diterapkan. Dari sekitar 40 pelaku penerbangan kecil, akibat aturan ini sebanyak 27 pelaku usaha penerbangan kecil terancam ditutup atau kalau tidak harus menambah jumlah pesawat. “Kita minta MK menghapus pasal-pasal itu.”  

Menanggapi permohonan ini, Anggota Majelis Panel Maria Farida Indrati mengingatkan pemohon bahwa MK tidak menguji kasus konkret, tetapi menguji konstitusionalitas norma. Selain itu, MK tidak berwenang menguji antar undang-undang ketika pemohon membandingkan antara UU Penerbangan dengan UU Pelayaran. 

“Tetapi, Anda bisa saja bisa menguraikan alasan kenapa UU Pelayaran tidak mengatur jumlah minimum kepemilikan kapal, sementara dalam UU Penerbangan tidak sama. Alasannya apa? Anda bisa bandingkan di sana,” sarannya.  

“Saudara juga harus cermati lagi apakah pasalnya ada yang salah atau tidak? Saya menganggap pasti ada alasannya kenapa angkutan udara niaga memiliki syarat minimal lima unit pesawat,” kata Maria.  
Tags:

Berita Terkait