Aturan Turunan UU Cipta Kerja Perlu Kejelasan Sanksi Administratif Terkait Registrasi Sertifikasi Halal
Berita

Aturan Turunan UU Cipta Kerja Perlu Kejelasan Sanksi Administratif Terkait Registrasi Sertifikasi Halal

Agar tidak ada celah yang menimbulkan multitafsir.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES

Pemerintah sedang menyusun sejumlah aturan turunan Undang-Undang (UU) tentang Cipta Kerja dalam jangka waktu maksimal 3 bulan sejak diundangkannya UU Cipta Kerja dalam lembaran negara. Salah satu sektor yang mendapat perhatian pembuatan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur kewajiban registrasi sertifikasi produk halal.

Jika tidak, ada sanksi administratif bagi pelaku usaha yang tidak melakukan registrasi sesuai ketentuan dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Hanya saja, persoalannya sanksi administrasi berupa “penarikan barang dihapus” dihapus melalui UU Cipta Kerja yang mendelegasikan sanksi administratif diatur melalui PP.     

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Buchori Yusuf meminta pemerintah mengedepankan keberpihakannya pada konsumen dalam merumuskan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait UU Cipta Kerja, khususnya pada bagian Jaminan Produk Halal.

Saya ingin mengingatkan pemerintah agar aturan turunan yang tengah disusun mencerminkan keberpihakan yang nyata bagi konsumen produk halal,” ujar Buchori Yusuf kepada wartawan, Rabu (21/10/2020). (Baca Juga: Perlunya Keberpihakan pada Konsumen Produk Halal di Aturan UU Cipta Kerja)

Anggota DPR dari Fraksi PKS itu meminta pemerintah memperhatikan bagaimana aspek perlindungan konsumen produk halal. Sebab, penghapusan klausul sanksi administratif berupa “penarikan barang dari peredaran” harus dikompensasi dengan wujud sanksi yang tegas, jelas, dan tidak menimbulkan multitafsir dalam aturan turunan.

“Pemerintah tidak boleh gegabah dalam menyusun aturan turunan dari UU Cipta Kerja, khususnya perihal jaminan produk halal. Setelah kami melakukan penyisiran terhadap versi 812 halaman, kami menemukan sejumlah kelemahan substansi dari UU tersebut, khususnya terkait regulasi sanksi bagi pelanggaran terhadap kewajiban registrasi halal,” ujarnya.

UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal merupakan salah satu UU terdampak dalam UU Cipta Kerja. Terdapat sejumlah pasal yang diubah ataupun dihapus rumusan normanya. Salah satunya, diubahnya rumusan norma Pasal 48 UU 33/2014 melalui UU Cipta Kerja.

Dalam Pasal 48 ayat (1) UU 33/2014 menyebutkan, Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran”. Namun, Namun Pasal 48 versi UU Cipta Kerja frasa berupa penarikan barang dari peredaran dihapus.

Sehingga, rumusan Pasal 48 ayat (1) UU Cipta Kerja menjadi “Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif”. Dalam Pasal 48 ayat (2)-nya disebutkan “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Buchori menyayangkan penghapusan frasa “berupa penarikan barang dari peredaran”. Sebab, dihapusnya frasa itu menjadi tidak ada kejelasan sanksi administratif dalam Pasal 48 UU Cipta Kerja. Karena itu, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) harus mengatur tegas dan tidak multitafsir.

Anggota Komisi VIII DPR itu menilai pencantuman wujud sanksi administratif yang konkret menunjukkan ketegasan dan keberpihakan negara terhadap pengadaan produk impor yang halal. Sebaliknya, penghapusan wujud sanksi bisa membuat kebijakan registrasi halal produk impor menjadi lebih permisif terhadap pelanggaran kewajiban registrasi.

Bukhori mengatakan penyelenggaraan jaminan produk halal sejatinya untuk memberi kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk.

Dalam upaya mendukung hal tersebut, maka disusun juga regulasi mengenai wujud sanksi yang jelas apabila dalam praktiknya terjadi penyimpangan oleh pelaku usaha. "Dengan demikian, keterangan terkait wujud konsekuensi hukum yang jelas dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 48 UU JPH) dalam rangka, semaksimal mungkin, menutup celah bagi potensi terjadinya pelanggaran kewajiban registrasi," katanya.

Terpisah, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie menilai penghapusan penegasan pengaturan sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran dalam Pasal 48 UU 33/2014 melalui UU Cipta Kerja, sama halnya menjadi turun kelas dari aspek hierarki peraturan perundang-undangan.

“Tentu turun kelas, dalam UU Cipta Kerja didelegasikan ke Peraturan Pemerintah. Padahal, ancaman sanksi ini penting sebagai bagian dari proteksi terhadap masyarakat muslim khususnya mengenai produk halal,” ujarnya.

Namun begitu, Tholabi mencatat ada norma positif dalam UU Cipta Kerja bagi perkembangan jaminan produk halal. Seperti fasilitasi negara terhadap UMKM dalam pengurusan sertifikasi halal seperti diatur dalam perubahan Pasal 44 UU Jaminan Produk Halal melalui UU Cipta Kerja. Kemudian Pasal 28 ayat (4) menyebutkan, “Dalam hal kegiatan usaha dilakukan oleh Pelaku Usaha mikro dan kecil, Penyelia Halal dapat berasal dari Organisasi Kemasyarakatan”.

“Saya melihat ini sisi positif. Ada keberpihakan pada UMKM dalam urusan sertifkasi halal, termasuk diberinya ruang ormas dalam urusan penyelia halal, meski sifatnya opsional,” katanya.

Tags: