Bawaslu Anggap RDP dengan DPR dan Pemerintah Masih Perlu
Berita

Bawaslu Anggap RDP dengan DPR dan Pemerintah Masih Perlu

Rapat itu untuk merumuskan peraturan teknis.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Bawaslu Anggap RDP dengan DPR dan Pemerintah Masih Perlu
Hukumonline
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menilai rapat dengar pendapat (RDP) antara pihak penyelenggara pemilu dengan DPR dan Pemerintah masih perlu. Sebab, mekanisme ini justru membantu pihaknya dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pengawas pemilu.

Pernyataan ini disampaikan Komisioner Bawaslu Endang Wihdatiningtyas dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada) yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Beleid ini mengatur konsultasi atau rapat dengar pendapat KPU dengan DPR dan Pemerintah saat menyusun Peraturan KPU dan pedoman teknis terkait penyelenggaraan pilkada. (Baca juga: Miliki Syarat Ini Kalau Mau Jadi Anggota Bawaslu).

Endang menilai selama ini mekanisme konsultasi kepada DPR dan Pemerintah memberi manfaat tersendiri agar rumusan norma dalam peraturan Bawaslu tidak keluar dari konteks atau maksud norma-norma UU Pilkada. “Ini (aturan teknis) agar dapat dilaksanakan sesuai jiwa UU Pilkada,” ujar Endang dalam sidang pleno yang diketuai Anwar Usman di Gedung MK Jakarta, Rabu (7/12).

Endang mengungkapkan satu ketika pihaknya pernah mengalami kesulitan merumuskan norma terkait aturan teknis pelanggaran pemilu yang bersifat terstruktur, sitematis, dan masif (TSM). Namun, rumusan norma itu baru bisa dinilai selaras dengan UU Pilkada setelah dilakukan RDP beberapa kali. (Baca juga: Lima Alasan UU Pilkada Harus Dirombak).

“Ketika kami mencoba merumuskan bagaimana memeriksa jika ada laporan dugaan pelanggaran politik uang yang memenuhi sifat TSM itu sangat sulit untuk merumuskannya. Setelah konsultasi beberapa kali, itupun harus direvsi kembali, supaya memenuhi apa yang dikehendaki UU Pilkada,” kata Endang.

Dia mengakui memang ada tugas pokok dan fungsi yang berbeda antara KPU dan Bawaslu sebagai pihak penyelenggara pemilu. Namun, menurutnya, aturan mengenai RDP selama ini cukup membantu bagi Bawaslu. “Kami tidak mengomentari secara langsung terkait apa yang diajukan Pemohon (KPU), setuju atau tidak setuju (atas uji materi yang diajukan),” kata dia.

“Kalau kami (Bawaslu) masih memerlukan konsultasi itu, karena untuk merumuskan dari undang-undang ke peraturan Bawaslu, misal terkait TSM, itu sangat sulit kalau tidak dikonsultasikan terlebih dulu,” tegasnya. (Baca juga: Bawaslu: Menghalangi Kampanye Adalah Tindak Pidana).

Sebelumnya, KPU mempersoalkan Pasal 9 ayat huruf a UU Pilkada lantaran kemandirian lembaganya terancam/terganggu akibat adanya keterlibatan DPR dan Pemerintah dalam menyusun dan menetapkan aturan teknis penyelenggaraan Pemilu termasuk pilkada.Pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menyebut “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.”

Menurutnya, KPU sebagai lembaga independen/mandiri (constitutional important) yang diberi wewenang membuat aturan internal seharusnya diperlakukan sama seperti lembaga independen lain. Misalnya, Komisi Yudisial (KY), Bank Indonesia. Seharusnya lembaga penyelenggara Pemilu tidak boleh tunduk arahan lembaga lain yang notabene berisi pihak partai politik. Karena itu, Pemohon berharap Pasal 9 huruf a UU Pilkada dihapus karena bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945.

Salah satu contoh kemandirian KPU terganggu ketika KPU menyusun Peraturan KPU terkait pelaksanaan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang  berkonsultasi dengan Komisi II DPR dan Pemerintah. Alhasil, disepakati setiap terpidana yang tidak menjalani hukum penjara (pidana percobaan) boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang keputusan ini bersifat mengikat (KPU) yang harus ditindaklanjuti melalui Peraturan KPU.
Tags:

Berita Terkait