5 Alasan UU Pilkada Perlu Dirombak
Berita

5 Alasan UU Pilkada Perlu Dirombak

Mulai dari masalah anggaran, definisi pemilih yang diatur dalam UU, dan beberapa polemik yang belum ada penyelesaiannya.

Nazma Swastika Aries (ManifesT FH Brawijaya)
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini (kedua dari kiri). Foto: RES
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini (kedua dari kiri). Foto: RES
Meski penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahap pertama telah dilalui, namun dalam praktiknya masih terdapat beberapa catatan serius yang perlu dijadikan bahan evaluasi bagi banyak pihak. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam Kuliah Tamu di Fakultas Hukum Universitas Universitas Brawijaya beberapa waktu lalu.

Titi berpendapat bahwa sebagai produk kebijakan yang lahir dari sebuah ketergesa-gesaan, UU Nomor 1 Tahun 2015 yang telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Wali Kota, dan Bupati (UU Pilkada) sebagai payung hukum penyelenggaraan pilkada serentak masih menyiratkan beberapa persoalan serius.

Revisi menjadi jalan keluar yang ditawarkan Titi agar pelaksanaan pesta demokrasi ini agar berikutnya tak lagi banyak menuai banyak masalah. Lima alasan utama mengapa UU Pilkada perlu dirombak pun disampaikan Titi dalam materi perkuliahannya yang digelar Kamis, 31 Maret 2016 itu.

Pertama, lulusan FH Universitas Indonesia ini mengatakan, alasan revisi berkaitan dengan anggaran. Menurut Titi, dengan masih dibebankannya aggaran penyelenggaraan pilkada pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), hal ini akan menghambat pelaksanaan pilkada di beberapa wilayah. Pasalnya, kemampuan APBD setiap daerah berbeda-beda.

“Pembebanan anggaran pada APBD juga menyebabkan ketidakadaan standarisasi anggaran pilkada yang berujung pada pembengkakan anggaran pilkada. Ketiadaan standar ini dilatarbelakangi oleh setiap anggaran pilkada menyesuaikan dengan kemampuan keuangan APBD di daerah-daerah masing-masing,” ujarnya.

Masalah lain yang mungkin juga muncul karena permasalahan anggaran ini, sebut Titi, adalah kemungkinan adanya politisasi anggaran. Terutama di daerah-daerah yang pejabatnya kembali mencalonkan diri atau incumbent.

Kedua, terkait dengan definisi pemilih sebagaimana diatur dalam UU Pilkada.  Pasal 1 angka 6 UU Nomor 8 Tahun 2015 berbunyi, “Pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam Pemilihan”.

Menurut Titi, redaksional tersebut menimbulkan kerancuan karena warga negara asing dapat dikategorikan pula sebagai penduduk. Hal ini merujuk pada definisi penduduk Pasal 1 angka 2 UU Nomor 24 Tahun 2013, bahwa orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia juga dapat dikategorikan sebagai penduduk. Selain itu, dalam undang-undang yang berlaku sekarang, kaum disabilitas mental juga tidak diberi hak pilih.

Ketiga, yaitu terkait dengan polemik dalam proses pencalonan yang tak kunjung usai. “Misalnya, pendaftaran calon dari partai politik yang diwarnai oleh kisruh dualisme kepengurusan yang sampai detik inimasihbelum juga ada penyelesaiannya,” Titi mencontohkan.

Ia pun menyebutkan beberapa hal yang menjadi highlight-nya dalam proses pencalonan ini. Di antaranya, tidak dilibatkannya anggota partai politik dalam memilih calon, kemudian syarat mundur bagi PNS, TNI, POLRI, anggota DPR, DPD, DPRD, saat hendak maju serta permasalahan lain dalam pencalonan yang tidak dapat diuraikan satu persatu.

Keempat, mengenai jenis kampanye, seperti iklan media cetak atau elektronik, debat publik, alat peraga, dan distribusi alat peraga yang dibiayai negara. Pengaturan ini dirasa Titi tidak efektif pelaksanaannya, terutama berkaitan dengan pencetakan dan distribusi alat peraga.

“KPU seperti sibuk menjadi lembaga pengadaan barang dan jasa, sehingga keteteran mengelola tahapan yang seharusnya menjadi hal yang lebih penting,” tambah Titi.

Dalam kesempatan yang sama, Titi memberikan rekomendasi solusi terkait pengaturan kampanye. Menurutnya,  kampanye yang dibiayai oleh negara cukup melingkupi debat publik dan iklan di media massa saja. Sementara alat peraga dan bahan kampanye diserahkan kembali ke masing-masing pasangan calon dan partai politik, dengan catatan bahwa lokasi pemasangan ukuran dan batas maksimal tetap ditentukan oleh KPU.

Kelima, berkenaan dengan terlalu banyaknya lembaga yang terlibat dalam urusan sengketa pencalonan. “Ada Badan Pengawas Pemilu, Dewan Kehormatan Penyelenggaran Pemilu (DKPP), Pengadilan Tata Usaha Negara, ada juga yang ditangani Mahkamah Konstitusi,” tutur Titi.

Selain itu, ia juga mempermasalahkan proses dan peniliaian dalam sengketa hasil pemilu. Menurutnya, waktu pengajuan permohonan sengketa hasil ke MK relatif singkat, dan ketentuan ambang batas selesih suara yang tidak selaras dengan semangat keadilan pemilu. “Betapa tidak, adanya ketentuan syarat selisih suara dalam Pasal 158 UU 8 Tahun 2015 seolah menafikkan tujuan pemilu itu sendiri,” tutup Titi.

**Artikel ini merupakan bagian dari Program Rechtschool yang dilaksanakan oleh Hukumonline berkolaborasi dengan para Mitra Rechtshool yang terdiri dari lima organisasi pers fakultas hukum ternama di Indonesia yakni Mahkamah FH Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), Vonis FH Universitas Padjadjaran (Bandung), Media FH Universitas Sriwijaya (Palembang), LPMH Eksepsi FH Universitas Hasanuddin (Makassar), dan Manifest FH Universitas Brawijaya (Malang).
Tags:

Berita Terkait