Beberapa Tantangan yang Dihadapi Penganut Penghayat Kepercayaan
Berita

Beberapa Tantangan yang Dihadapi Penganut Penghayat Kepercayaan

Putusan MK No.97/PUU-XIV/2016 memberi jaminan sekaligus tantangan bagi agama leluhur dan penganut kepercayaan. Dalam prinsip HAM, semua agama dan kepercayaan harus diperlakukan sama terhadap ajaran dan pengikutnya.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Penghayat kepercayaan. Foto: goodnewsfromindonesia.id
Penghayat kepercayaan. Foto: goodnewsfromindonesia.id

Konstitusi menjamin setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agama. Termasuk bebas meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya. Setiap orang juga berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Sayangnya mandat konstitusi itu belum dapat berjalan sesuai harapan, karena sebagian kelompok masyarakat masih kesulitan untuk melaksanakan hak konstitusionalnya itu seperti yang dialami penganut penghayat kepercayaan.

Ketua Umum Puan Hayati Pusat, Dian Jennie Tjahjawati, mengatakan jumlah penganut penghayat kepercayaan cenderung menyusut karena pengikut/penerusnya semakin terbatas. Hal ini terjadi karena selama ini penghayat kepercayaan mengalami diskriminasi dan stigma. Meski demikian, Putusan MK No.97/PUU-XIV/2016 memberi peluang sekaligus tantangan terhadap penghayat kepercayaan. Lewat putusan itu penghayat kepercayaan dapat mencantumkan keyakinan mereka dalam kartu identitas.

Dia menilai regulasi yang ada sekarang ini relatif memberi perbaikan dalam pelayanan publik terhadap penghayat kepercayaan. Dian memberi contoh Permendikbud No.27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan, memberi kesempatan terhadap anak didik penghayat kepercayaan mendapat pengajaran sesuai keyakinannya. Tenaga pendidik berasal dari organisasi penghayat kepercayaan yang terdaftar.

Begitu pula dengan administrasi perkawinan, tidak sedikit pasangan penghayat kepercayaan yang menikah, tentunya pemuka yang mengawinkan berasal dari organisasi penghayat kepercayaan yang telah tercatat. “Pelayanan publik terhadap penghayat kepercayaan sudah mengalami perbaikan walau belum sesuai harapan,” kata Dian dalam diskusi bertema “Mengulik Situasi Kebebasan Berserikat dan Berkumpul Kelompok Minoritas Penghayat Kepercayaan di Indonesia”, Kamis (26/11/2020).

Untuk mendirikan tempat ibadah, Dian mengatakan penghayat kepercayaan menghadapi masalah serupa seperti yang dialami kelompok agama dan keyakinan minoritas lainnya. Salah satu hal yang masih menjadi tantangan penghayat kepercayaan yakni menghadapi stigma dan diskriminasi yang kerap muncul.

Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menilai kebijakan yang diterbitkan kerap mengistimewakan kelompok mayoritas. Kebijakan seperti ini banyak ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam prinsip HAM, seluruh agama dan kepercayaan memiliki hak yang sama, tidak diperlakukan diskriminatif baik terhadap ajaran dan pemeluknya. Hal ini juga termasuk terhadap pelayanan publik yang diberikan.

Sayangnya, kapasitas aparat tidak sama dalam memahami hak konstitusional warga negara untuk bebas memeluk agama dan berkeyakinan. “Banyak aparat yang belum bisa membedakan mana pembatasan dan pengaturan HAM, sehingga ketika diturunkan kebijakan teknisnya menjadi diskriminatif,” ujarnya.

Kebijakan pemerintah yang menggenjot infrastruktur, menurut Beka juga berdampak terhadap masyarakat hukum adat yang juga penganut aliran kepercayaan atau agama leluhur. Misalnya, di Sumba Timur, masyarakat hukum adat setempat berhadapan dengan investor karena kegiatan yang dilakukan investor mengancam tempat ritual masyarakat hukum adat.

Dalam membenahi persoalan ini, peran pemerintah daerah sangat penting. Tapi faktanya ada kepala daerah yang responsif dalam menyelesaikan persoalan ini dan ada juga yang tidak. Oleh karena itu, penting agar standar HAM digunakan aparat sipil dan aparat penegak hukum agar kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat dinikmati semua orang tanpa diskriminasi.

Tags:

Berita Terkait