Beda Putusan Seorang Arbiter dan Hakim
Kolom

Beda Putusan Seorang Arbiter dan Hakim

Perbedaan yang kentara dapat terlihat dengan jelas jika para pihak menyelesaikan sengketanya di pengadilan.

Bacaan 2 Menit

Berbeda dari praktik yang terjadi dalam forum arbitrase, perbedaan yang kentara dapat terlihat dengan jelas jika para pihak menyelesaikan sengketanya di pengadilan. Hakim di pengadilan walaupun tidak diminta oleh para pihak dapat saja menggunakan kewenangannya untuk memutus sengketa dengan menggunakan prinsip ex aequo et bono. Dengan kata lain, dalam forum penyelesaian sengketa di pengadilan, adalah wajar dan sering terjadi di mana hakim membuat pertimbangan hukum dan memutus berdasarkan prinsip kewajaran dan kepatutan.

Kemungkinan yang Dapat Diukur

Selanjutnya menarik pula dicermati adanya sengketa-sengketa di pengadilan yang menggunakan alasan force majeure. Sepanjang pengetahuan Penulis, setidaknya dari sebanyak 12 putusan Mahkamah Agung, Penulis mencatat bahwa putusan yang menerima alasan force majeure ada dalam kisaran tidak lebih dari 35% (Penulis merujuk pada 4 putusan Mahkamah Agung yang menerima alasan force majeure, yakni Putusan MA No.15 K/Sip/1957; Putusan MA No. 409K/Sip/1983; Putusan MA No. 285PK/Pdt/2010; dan Putusan MA No. 3320 K/Pdt/2017).

Sedangkan sisanya yang menolak alasan force majeure justru malah lebih banyak, yakni sekitar 65% (Penulis mencatat ada 8 putusan Mahkamah Agung yang menolak alasan force majeure, yakni Putusan Hogerrechtshof Batavia (17 September 1925); Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta (1955); Putusan MA No. 558 K/Sip/1971; Putusan MA No. 3389K/Pdt/1984; Putusan MA No. 2914K/Pdt/2001; Putusan MA No. 3087K/Pdt/2001; Putusan MA No. 587 PK/Pdt/2010; Putusan No. 225 PK/Pdt/2013).

Dengan demikian, cukup fair untuk mengatakan bahwa jika sengketa dibawa ke pengadilan, maka theoretically speaking terdapat “35:65 chance” jika sengketa dimaksud akan dikabulkan dengan menggunakan alasan force majeure. Artinya, sekarang kita tinggal melihat bagaimana fakta kontraktualnya. Apakah klausula mengenai force majeure meliputi juga adanya pandemi? Apakah pandemi harus dibuktikan terlebih dulu? Siapakah yang berwenang untuk menentukan adanya pandemi? Yang lebih penting lagi dalam konteks tulisan ini adalah apakah sengketa dapat diputus berdasarkan prinsip ex aequo et bono, atau sama sekali masalah itu tidak diatur dalam kontrak?

Jika pandemi merupakan salah satu keadaan memaksa yang diatur dalam kontrak, bisa dikatakan “35:65 chance” tadi malah bisa naik menjadi 60:40 atau bahkan 70:30 bagi pihak yang akan menggunakan alasan adanya pandemi Covid-19 sebagai keadaan force majeure. Begitu pula sebaliknya. Jika kontrak tidak mengatur pandemi sebagai salah satu keadaan memaksa, maka “35:65 chance” bahwa alasan force majeure dapat diterima mungkin saja bisa menurun menjadi 30:70 chance. Jadi, sekali lagi penting untuk dipahami bahwa semua akan sangat tergantung dari kontraknya masing-masing dan yang tidak kalah pentingnya pertanyaan mengenai dimana sengketa dimaksud harus diselesaikan. Apakah di pengadilan atau lembaga arbitrase?.

Belajar dari pengalaman kejadian pandemi Covid-19 ini yang secara tegas ditetapkan sebagai Bencana Nasional Non Alam, kiranya tidak berlebihan jika dalam membuat suatu klausula penyelesaian sengketa, pengalaman yang “unprecedented” terkait pandemi Covid-19 ini dapat menjadi rujukan. Ke depan, munculnya atau tenggelamnya asas, teori, norma dan praktek hukum kiranya bakal dipengaruhi oleh kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya ini.

Kondisi “unprecedented” yang Penulis sampaikan di atas bisa jadi bakal mempengaruhi sumber hukum materiil bagi kepentingan ius constituendum. Akhir kata, apa yang penulis sampaikan bukanlah suatu opini hukum untuk suatu kasus tertentu, dan tentunya pandangan diatas mungkin saja dapat berubah tergantung dari faktanya, karena hukum ditentukan oleh faktanya.

*)Eri Hertiawan adalah advokat dari Jakarta, Member of the SIAC Court of Arbitration, Singapore serta Arbiter yang tercatat pada SIAC.

Catatan Redaksi:

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait