Begini Respons Pengamat atas Rencana Penghapusan IMB dan AMDAL
Berita

Begini Respons Pengamat atas Rencana Penghapusan IMB dan AMDAL

Wacana menghapus IMB dan AMDAL sebenarnya bagian dari evaluasi terhadap proses penerbitan izin yang kerap dikeluhkan.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Pemerintah ingin menghapus IMB dan AMDAL. Ilustrasi perumahan: HGW
Pemerintah ingin menghapus IMB dan AMDAL. Ilustrasi perumahan: HGW

Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melempar wacana untuk menghapus instrumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk memangkas rantai perizinan sekaligus memudahkan investasi di Tanah Air. Kedua dokumen ini nantinya akan diganti oleh Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang saat ini telah berlaku di sekitar 53 Kabupaten/Kota di tanah air.

 

Meskipun wacana ini baru sebatas rencana, namun penolakan dari beberapa pihak sudah muncul, termasuk di dalamnya pemerintah Kabupaten/Kota. Salah satu alasan penggantian AMDAL dan IMB oleh RDTR adalah mengenai domain privat dan publik yang melekat pada masing-masing dokumen tersebut. Hal ini membuat antara kedua hal dipandang tidak bisa saling menggantikan.

 

Peneliti dari Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Tata Ruang Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Maret Priyanta menjelaskan, pada prinsipnya rencana tata ruang yang selama ini dipahami adalah politik hukum yang menjadi dasar dari segala kegiatan pemanfaatan termasuk pengendalian terhadap ruang. Pengendalian terhadap ruang merupakan salah satu substansi dari aspek hukum tata ruang.

 

(Baca juga: Pemerintah Gagas Penghapusan IMB dan AMDAL)

 

Dalam pengendalian tata ruang, tidak hanya bicara tentang hak hukum negara tapi juga di dalamnya terdapat aspek penegakan hukum yang sifatnya bisa sangat spesifik. Untuk itu, secara konsep jika pemerintah hendak menghapuskan IMB atau AMDAL maka Maret menilai telah terjadi pelanggaran di dalamnya, tidak hanya terhadap rencana tapi juga terhadap hukum. “Itu konsepnya,” terang Maret menjelaskan duduk persoalan hukum yang akan timbul dari wacana yang dilempar pemerintah ini kepada hukumonline, di kantor Kementerian ATR/BPN beberapa waktu lalu.

 

Namun dalam proses perencanaan tata ruang, Maret menyebutkan banyak terdapat aspek teknis di dalamnya serta juga ikut melibatkan partisipasi masyarakat. Soal izin yang berkaitan dengan lingkungan, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang  Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam evaluasi rencana tata ruang, terdapat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Menurut Maret, prinsip dari KLHS membahas tentang daya tampung dan daya dukung sehingga pada tahap berikutnya akan menjustifkasi perencanaan kawasan, penetapan kawasan lindung, serta kawasan budidaya.

 

Menurut Maret, wacana menghapus IMB dan AMDAL sebenarnya bagian dari evaluasi terhadap proses penerbitan IMB dan AMDAL yang selama ini kerap dikeluhkan. Untuk itu, jika pemerintah berencana untuk mengenyampingkan AMDAL dan IMB, hal tersebut bisa saja dilakukan sepanjang prinsip-prinsip yang diusung oleh IMB dan AMDAL sebagai dokumen surat izin lingkungan memang diakomodasi dalam proses perencanaan termasuk dalam merumuskan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

 

“Jadi kita bisa bandingkan dulu KLHS itu cenderung tanggung jawab pemerintah, AMDAL tanggung jawab pemrakarsa. AMDAL berorientasi objek kegiatan, KLHS berorientasi kawasan. Berarti kan ada tipologi yang harus diharmoniskan dulu di aspek pembahasan kalau memang kita mau mengesampingkan AMDAL,” terang Maret.

 

Menurut Maret, akan lebih tepat jika pemerintah menggunakan istilah mengenyampingkan bukan menghapus AMDAL dan IMB. Dengan begitu, secara desain bisa dicarikan jalan keluar dari problem IMB dan AMDAL yang sesungguhnya tanpa harus menghapus kedua instrumen ini. Maret menyarankan dalam proses RDTR dilakukan pembahasan yang lebih detail, lebih rinci, dengan skala yang lebih detail dan lebih pasti, tentu saja dengan menggunakan pendekatan AMDAL, bukan dengan pendekatan KLHS. Dengan begitu Maret menyebutkan ada konstruksi hukum yang sedang dibangun.

 

Secara khusus untuk IMB, ia diatur oleh minimal Undang-Undang Tata Ruang dan Undang-Undang Bangunan Gedung. RDTR secara spasial rencana mengatur terkait ketinggian, berapa luasan, di suatu kawasan boleh dibangun berapa gedung. Menurut Maret, jika RDTR secara terpirinci sudah mengatur aspek ruang, aspek teknis dalam IMB tetap tidak bisa dikesampingkan. ”Itu kan rananhnya berbeda,” ungkap Maret.

 

Gagasan penyederhanaan proses yang saat ini tengah didorong pemerintah tidak semestinya tidak mengurangi prinsip kehati-hatian, namun proses penerbitan izin tetap bisa disederhanakan. Hanya saja jika konsep ini dilanjutkan ke tahap implementasi, Maret tidak menafikan adanya potensi persoalan seperti kewenangan-kewenangan antar lembaga dalam penerbitan sejumlah perizinan tersebut.  “Ternyata ketika konsep ini kita dudukkan, kewenangan-kewenangan itu jadi sedikit isu di kemudian hari. Tapi secara konsep bisa kita susun sebetulnya,” ungkap Maret.

 

Walikota Bogor, Bima Arya menyebutkan terdapat sejumlah prinsip yang terlebih dahulu harus diperhatikan jika pemerintah ingin melakukan penataan ulang terhadap rezim perizinan. Pertama, penyederhanaan. Menurut Bima saat ini proses penerbitan izin sangat rumit dan berjenjang. “IMB mungkin tetap harus ada, tapi AMDAL Lalin, AMDAL Lingkungan, harus dijadikan satu paket saja. Itu yang namnya penyederhanaan,” ujarnya.

 

Bima juga menyinggung aspek kewenangan. Ada banyak tumpang tindih kewenangan proses penerbitan izin. Ia bahkan menyebutkan masyarakat mesti berurusan dengan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, dan sebagainya. Posesnya sangat berlarut-larut. Yang lain adalah keseimbangan. Pemerintah perlu menyusun mekanisme perencanaan yang berbanding lurus dengan pengendalian dan pengawasan. Menurut Bima pembangunan yang berorientasi pada investasi harus memperhatikan kualitas hidup dan kesejahteraan hidup juga terjaga.

Tags:

Berita Terkait