Begini Tafsir Konstitusional Putusan ‘Perjanjian Kawin’
Utama

Begini Tafsir Konstitusional Putusan ‘Perjanjian Kawin’

Bagi Perca Indonesia, putusan ini telah mengedepankan asas keadilan dan memulihkan hak konstitusi WNI pelaku kawin campur.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pasangan yang melangsungkan perkawinan. Foto: SGP
Ilustrasi pasangan yang melangsungkan perkawinan. Foto: SGP
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU-XIII/2015 terkait pengujian sejumlah pasal UU No. 5 Tahun 1960  tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan UU No. 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan (UUP) telah dibacakan, Kamis (27/10) lalu. Mahkamah hanya memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 29 ayat (1), (3), (4) UU Perkawinan terkait perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan berlangsung.

Melalui putusan ini, di satu sisi, Mahkamah memaknai perjanjian perkawinan yang pembuatannya lebih fleksibel. Artinya, kini perjanjian perkawinan tidak harus dibuat sebelum atau saat perkawinan, tetapi juga bisa dibuat selama ikatan perkawinan sesuai kebutuhan hukum masing-masing pasangan suami-istri. Di sisi lain, MK menekankan asas nasionalitas dalam UUPA, dalam arti hanya WNI yang berhak memiliki tanah di Indonesia.

“Amar putusannya sudah jelas.Jadi, memang benar, perjanjian kawin bisa dibuat kapan saja sepanjang dalam ikatan perkawinan sesuai syarat yang ditentukan dalam putusan ini,” ujarJuru Bicara MK Fajar Laksono saat dihubungi hukumonline, Rabu (02/11). (Baca juga: Plus Minus Putusan MK tentang Perjanjian Perkawinan).

MK mengabulkan sebagian permohonan Ike Farida, seorang warga negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan warga negara Jepang (kawin campur). Sebab, merujuk pasal-pasal yang diuji, WNI yang menikah dengan WNA tak bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB karena terbentur aturan perjanjian perkawinan dan Harta Bersama.

Misalnya, Pasal 21 ayat (3) UUPA memberi hak kepada WNA mendapat HM karena warisan atau percampuran harta karena perkawinan. Namun, bagi WNI dalam perkawinan campuran dapat mempunyai HM “sejak diperolehnya hak” itu. Selanjutnya, HM itu harus dilepaskan (dijual kembali) dalam waktu satu tahun sejak diperolehnya HM itu. Menurut Pemohon, dalam praktiknya siapapun WNI yang menikah dengan WNA selama mereka tidak punya perjanjian pemisahan harta tidak akan pernah bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB.

Fajar menegaskan kaidah hukum putusan perjanjian kawin ini adalah perjanjian perkawinan bisa dibuat tidak hanya pada saat atau sebelum perkawinan saja, tetapi juga bisa dibuat selama pasangan suami-isti masih dalam ikatan perkawinan. Intinya, selama ikatan perkawinan kedua belah pihak (suami-istri) dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris (akta notaris).

“Karena alasan tertentu pasangan suami istri baru merasakan adanya kebutuhan untuk membuat perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan,” tegasnya.

Saat ditanya konteks kasus perkawinan campuran, Fajar mengatakan hal ini tergantung kesepakatan masing-masing pasangan mengenai hal-hal apa saja yang ingin diatur dalam perjanjian perkawinan (asas kebebasan berkontrak). Misalnya, perjanjian pemisahan harta berupa rumah atau hal-hal lain. “Tetapi, isi perjanjian kawin ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang, agama, kepatutan, kesusilaan,” ujarnya mengingatkan. (Baca juga: Keabsahan Perjanjian yang Mengandung Klausula Eksonerasi).

Memulihkan hak konstitusional
Terpisah, Ketua Pengurus Perkawinan Campuran (Perca Indonesia) Juliani Luthan menilai putusan MK terkait perjanjian kawin ini telah memulihkan hak konstitusional pasangan perkawinan campur. Ini berarti perjuangan Masyarakat PerCa Indonesia yang berdiri sejak tahun 2008 mendapatkan solusi atas permasalahan kepemilikan properti atau ha katas tanah berstatus HM dan HGB bagi WNI pelaku kawin campur.

“Selama ini dukungan penuh PerCa Indonesia diberikan kepada Ike Farida akhirnya berbuah manis dan memberikan solusi nyata,” kata Juliani saat dihubungi.

Menurutnya, pasca putusan ini seluruh WNI pelaku kawin campur yang tidak memiliki perjanjian perkawinan, mulai sekarang dapat membuat perjanjian perkawinan tidak hanya sebelum perkawinan, tetapi juga setelah dan selama perkawinan berlangsung untuk mengatur pemisahan harta dengan pasangannya sesuai dengan kesepakatan bersama.

Masyarakat PerCa Indonesia dan Ike Farida sangat mengapresiasi putusan MK dan menilai putusan ini peduli dan berpihak kepada WNI pelaku kawin campur yang selama ini terdiskriminasi. Baginya, putusan ini, sebuah keputusan yang mengedepankan asas keadilan dan memulihkan hak konstitusi WNI pelaku kawin campur.

“Ini kabar baik yang patut disyukuri oleh kita semua. Doa dan kerja keras kita selama ini telah terjawab. Sekali lagi, PerCa Indonesia menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Majelis MK, Pemerintah, dan para ahli yang telah mendukung perjuangan ini,” katanya.
Tags:

Berita Terkait