Ahli: Ketentuan HM-HGB Dilepaskan dari Harta Bersama
Berita

Ahli: Ketentuan HM-HGB Dilepaskan dari Harta Bersama

Perlu ada pengawasan yang diperketat jika terjadi peristiwa hukum yang menyebabkan HM dan HGB jatuh ke tangan WNA.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia Arie Sukanti Hutagalung selaku ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang uji materi UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan, Senin (7/9). Foto: Humas MK
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia Arie Sukanti Hutagalung selaku ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang uji materi UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan, Senin (7/9). Foto: Humas MK
Pakar Hukum Agraria FH Universitas Indonesia Prof. Arie Sukanti Hutagalung berpandangan seharusnya setiap Warga Negara Indonesia (WNI) termasuk pelaku kawin campur berhak memiliki rumah berstatus Hak Milik dan Hak Guna Bangunan (HGB). Sebab, hak itu dijamin Pasal 9 ayat (2)  UU Nomor 5 Tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)  dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

“Ini sesuai prinsip nasionalitas yang dianut Pasal 9 ayat (2) UUPA, hanya WNI yang memiliki hubungan terpenuh dengan tanah di Indonesia,” ujar Prof Arie saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian sejumlah pasal UUPA dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di ruang sidang MK, Senin (07/9). Pengujian kedua Undang-Undang itu diajukan seorang pelaku perkawinan campuran, Ike Farida.

Arie mengungkapkan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 36 ayat (3) UUPA menimbulkan multitafsir yang sedikit banyaknya merenggut hak-hak dasar WNI yang dijamin UUD 1945 seperti yang dialami pemohon. Menurut ahli hukum agrarian ini, frasa ‘WNI’ dalam Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 36 ayat (2) UU UUPA perlu dimaknai sebagai ‘WNI’ tanpa terkecuali baik WNI yang tidak kawin, WNI yang menikah dengan WNI lain, maupun WNI yang menikah dengan WNA (kawin campur).

“Pemaknaan ini agar tidak terjadi kekeliruan atau kesalahan dalam menafsirkan kedua pasal tersebut,” kata ahli yang dihadirkan pemohon ini.

Arie berpendapat munculnya multitafsir lantaran Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 36 ayat (1) UUPA masih mengacu konsep hukum perkawinan (percampuran harta) menurut KUH Perdata. Konsep percampuran harta ini adalah harta yang diperoleh suami sebelum dan sepanjang perkawinan demi hukum menjadi harta istrinya juga. Demikian pula sebaliknya.

Menurut dia, dalam pasal itu ada tiga peristiwa hukum yang menyebabkan beralihnya HM dan HGB kepada WNA yakni percampuran harta karena perkawinan campuran, pewarisan tanpa wasiat, WNI yang kehilangan kewarganegaraannya. Karena itu, frasa “orang asing yang sesudah berlakunya UU ini memperoleh HM atau HGB karena percampuran harta karena perkawinan” dalam Pasal 21 ayat (3) menjadi tepat. Sebab, seluruh harta yang dimiliki sang WNI demi hukum menjadi harta bersama dengan si WNA.

Arie berpendapat Pasal 21 ayat (3) UUPA seharusnya disesuaikan dengan UU No. 1 Tahuh 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan terakhir ini tidak mengatur perbuatan hukum spesifik apakah WNI yang kawin campur tidak diperbolehkan secara tegas membeli properti atau HM. Menurutnya, ketentuan HM dan HGB seharusnya dikeluarkan dari konsep “harta bersama” bagi pelaku kawin campur.

“Saya pun menyetujui apabila HM dan HGB dikeluarkan dari ‘harta bersama’ bagi WNI yang melakukan kawin campur. Dengan catatan, adanya pengawasan yang diperketat (BPN) apabila terjadi peristiwa hukum yang menyebabkan HM dan HGB jatuh ke tangan WNA agar WNI pelaku campur tidak dirugikan,” sarannya.

Ike Farida memohon pengujian Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA berkaitan dengan syarat kepemilikan Hak Milik dan HGByang hanya boleh dimiliki WNI, serta Pasal 29 ayat (1) dan (4) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan terkait perjanjian perkawinan danharta bersama. Penyebabnya, WNI yang menikah dengan WNA tak bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB karena terbentur aturan Perjanjian Perkawinan dan Harta Bersama.

Pasal 21 ayat (3) UUPA memberi hak kepada WNA mendapat HM karena warisan atau percampuran harta karena perkawinan. Namun WNI mempunyai HM (dalam perkawinan campuran) “sejak diperolehnya hak” itu. Selanjutnya, HM itu harus dilepaskan (dijual kembali) dalam waktu satu tahun sejak diperolehnya HM itu.

Pemohon menganggap siapapun WNI yang menikahi WNA selama mereka tidak punya perjanjian pemisahan harta, tidak akan pernah bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB. Kalaupun ada WNI kawin campur memiliki perjanjian pemisahan harta,  ia tetap tidak bisa membeli rumah karena ada kewajiban melepaskan hak tersebut dalam setahun dan ada larangan WNA mempunyai HM.

Menurut pemohon, pasal-pasal dianggap diskriminasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena itu, pemohon meminta penafsiran pasal-pasal itu. Upaya ini mendapat dukungan dari Pemerintah.
Tags:

Berita Terkait