Beragam Penyebab Disparitas Pemidanaan dalam Perkara Narkotika
Terbaru

Beragam Penyebab Disparitas Pemidanaan dalam Perkara Narkotika

Selain ada perbedaan tafsir penerapan antara Pasal 111 dan 112 dengan Pasal 127 UU Narkotika, diantaranya adanya kebijakan yang dibuat pimpinan, ketidakpahaman cara pembuatan pedoman hukuman pidana, hingga belum adanya sinergisitas antar penegak hukum.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

SEMA tersebut memperkenankan hakim agar dalam memutus perkara pidana di bawah ancaman pidana minimum selama fakta hukum di persidangan menunjukkan terdakwa adalah penyalahguna narkotika. Sayangnya, kata Syarifuddin, SEMA inibelum mampu mengatasi permasalahan secara menyeluruh. Sebab, terhadap terdakwa tetap dinyatakan terbukti melakukan Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika, sehingga peluang untuk menjatuhkan rehabilitasi menjadi tertutup.

“Penerapan pasal tersebut malah mengakibatkan terjadinya disparitas pemidanaan, khususnya penjatuhan hukuman pidana terhadap perkara yang memiliki karakteristik serupa. Disparitas pemidanaan bertolak belakang dengan tujuan hukum yakni kepastian, kemanfaatan dan keadilan.”

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung, Fadhil Zumhana menilai disparitas dalam penanganan perkara narkotika terjadi karena beberapa hal. Seperti adanya kebijakan yang dibuat pimpinan, ketidakpahaman cara pembuatan pedoman hukuman pidana, hingga belum adanya sinergisitas antar penegak hukum.

Namun begitu, Kejaksaan pernah membuat terobosan dalam meminimalisir disparitas penuntutan dengan menerbitkan Pedoman Kejaksaan No.11 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika dan/atau Tindak Pidana Prekursor Narkotika. “Pedoman ini dibuat Kejaksaan menjadi pemikiran mendalam bagaimana kita dapat mengatasi disparitas tuntutan pidana,” ujarnya.

Tapi dalam imlementasi Pedoman 11/2021 ini, Fadil mengakui menemui banyak kendala. Pertama, masih adanya perhitungan yang dibuat dengan kualifikasi perbuatan terdakwa. Kedua, tidak terdapat pengaturan apabila seorang terdakwa berperan ganda sebagai pengguna maupun bandar. Ketiga, terdapat perbedaan mencolok antara tuntutan pidana biasa yang dipraktikkan dengan Pedoman 11/2021.

Keempat, adanya keluhan terhadap jaksa yang menuntut rendah yang mengacu pada Pedoman 11/2021. Menurutnya, posisi jaksa menuntut perkara narkotika dengan rendah pun kerap disalahkah publik. Padahal memang jaksa mesti menuntut rendah bila mengacu pada Pedoman 11/2021. Sementara masyarakat mendesak agar menuntut pelaku tindak pidana narkotika dengan tuntutan tinggi.

“Sehingga saya terpaksa ‘melompati’ pedoman ini karena saya ingin menyelamatkan institusi,” katanya.

Kelima, dikhawatirkan jaksa atau penasihat hukum menyalahgunakan penuntutan berdasarkan pidana narkotika. Dalam mengatasi berbagai kendala yang dihadapi dalam meminimalisir terjadinya disparitas pidana, perlunya perbaikan regulasi yang ada. “Untuk menghindari disparitas penuntutan, kami menyarankan pedoman ini (Pedoman 11/2021, red) dilakukan revisi. Kita revisi secara bersama-sama,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait