Berbagai Penyebab Salah Hukum dalam Peradilan Pidana di Indonesia
Utama

Berbagai Penyebab Salah Hukum dalam Peradilan Pidana di Indonesia

Adanya salah hukum terjadi dikarenakan kurangnya alat bukti alamiah atau juga bukti kedokteran forensik di berbagai kasus-kasus pidana.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

Arsil menjelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya salah hukum, yakni tekanan untuk menyelesaikan kasus antara penuntasan perkasa vs kebenaran materil, dukungan sarana dan prasarana bagi penyidik rendah akhirnya mendorong penyidik mengandalkan keterangan saksi dan pengakuan tersangka sehingga penyidik menggunakan jalan pintas berupa penyiksaan terdawa agar mengaku salah.

Lalu, akses terhadap bantuan hukum yang memadai rendah, ketiadaan mekanisme yang efektif jika terdapat dugaan penyiksaan, hak-hak tersangka dan terdakwa ada namun tanpa akses yang jelas untuk memperoleh haknya. Serta, tidak ada kompensasi dan mekanisme yang jelas untuk mendapatkan kompensasi tersebut jika terbukti terjadi salah hukum. “Sayangnya, rehabilitasi dalam KUHAP sebatas pernyataan dalam putusan memulihkan nama baik,” kata dia.

Hakim Agung Surya Jaya mengatakan, adanya salah hukum terjadi dikarenakan kurangnya alat bukti alamiah atau juga bukti kedokteran forensik di berbagai kasus-kasus pidana. Menurutnya, pemeriksaan dan membuktikan suatu perkara yang alat buktinya sangat minim sekali membuat hakim dilema dan sulit dalam membuat keputusan yang baik. “Sebagai penegak hukum harus menerapkan bukti ilmiah, misalnya bukti tes DNA. Ini perlu agar tidak melahirkan salah hukum,” ujarnya.

Surya mengingat apa yang dikatakan Ketua MA, lebih kuat mana 1000 saksi dan satu alat bukti? Ternyata jawabannya, tidak ada suatu kejahatan yang tidak meninggalkan alat bukti. Jadi, tidak ada kejahatan yang tidak meninggalkan jejak. “Kalau jejak itu hanya mengandalkan saksi itu tidak akan terungkap. Jadi harus diikuti dengan bukti ilmiah,” tandasnya.

Ia juga berpendapat seharusnya ke depan yang digunakan tidak hanya bukti ilmiah saja tetapi juga bukti digital, agar lebih banyak alat-alat bukti yang dapat dijadikan acuan bagi hakim dalam memeriksa dan memutus. “Harus ada pembaharuan dalam penggunaan alat bukti, jadi perlu juga ada pembaharuan menggunakan teknologi untuk mengungkapkan kejahatan,” ujarnya.

Menurutnya, bangunan sistem pidana terpadu adalah ujung tombak bagi aparat penegak hukum dalam menangani suatu kasus dari mulai tahap di kepolisian hingga pengadilan. Ia mengatakan seorang terdakwa dalam sebuah kasus tidak hanya ditempatkan sebagai subjek tetapi harus juga ditempatkan sebagai objek.

Dalam memeriksa sebuah melakukan penyidikan, penyelidikan atau pun hingga memeriksa dan mengadili sebuah kasus pun, Surya mengingatkan, perlu diterapkan prinsip presumption of innocence yang sudah tertuang dalam KUHAP. Kemudian, perlu proses yang profesional dalam menanganinya sehingga hak-hak terdakwa dan juga korban dapat terlindungi, maka diperlukan sistem penyelenggaraan yang terpadu. Kemudian, lanjutnya, perlu juga menerapkan prinsip a quality before the law.

Tags:

Berita Terkait