Berkaca Kasus First Travel, Advokat Luthfi Yazid Usulkan 'Rombak' Regulasi Haji-Umrah
Sidang doktoral FH Unram:

Berkaca Kasus First Travel, Advokat Luthfi Yazid Usulkan 'Rombak' Regulasi Haji-Umrah

Disertasi ini mempersoalkan tanggang jawab negara yang tidak menjamin hak-hak korban untuk menjalankan ibadah umrah dalam kasus First Travel dan Abu Tours. Untuk itu, reformasi regulasi bidang haji dan umrah harus sejalan dengan mandat konstitusi yang menjamin setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya oleh negara.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Advokat TM Luthfi Yazid saat menyampaikan materi disertasi berjudul 'Tanggung Jawab Konstitusional Negara dalam Melindungi Hak Keagamaan Warga Negara' di FH Unram, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (20/2). Foto: ADY
Advokat TM Luthfi Yazid saat menyampaikan materi disertasi berjudul 'Tanggung Jawab Konstitusional Negara dalam Melindungi Hak Keagamaan Warga Negara' di FH Unram, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (20/2). Foto: ADY

Ujian terbuka Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram (FH Unram) meluluskan Advokat TM Luthfi Yazid untuk menyandang gelar Doktor Ilmu Hukum dengan predikat cum laude. Dalam disertasi berjudul “Tanggung Jawab Konstitusional Negara dalam Melindungi Hak Keagamaan Warga Negara”, Yazid mengawali paparannya bahwa UUD RI Tahun 1945 merupakan perjanjian luhur (nobel agreement), pemberian kuasa dari rakyat kepada negara.

Dalam konstitusi, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jelas disebutkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal 28 E menyebutkan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…”.

Beleid tersebut mengatur jaminan hak fundamental, antara lain kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Jaminan tersebut termasuk bagi umat Islam yang melaksanakan haji dan umrah. Negara, dalam hal ini pemerintah, bertanggung jawab untuk menjamin perlindungan dan pemenuhan hak fundamental untuk beribadah tersebut.

Tapi, Lutfhi menilai tanggung jawab negara untuk memenuhi hak fundamental itu tidak optimal. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah kasus dimana jamaah haji dan umrah gagal berangkat, seperti kasus First Travel dan Abu Tour. Jumlah korban dalam kasus tersebut tidak sedikit, mencapai puluhan ribu orang. Dia mencatat kasus gagal berangkat umrah dengan jumlah korban banyak seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya di Indonesia.

Dalam menangani masalah tersebut, Lutfhi mencatat berbagai upaya telah dilakukan mulai dari musyawarah dan proses hukum. Pemerintah juga membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI) yang anggotanya terdiri dari belasan lembaga seperti OJK, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kemendagri, Polri, PPATK, Kejaksaan, BKPM, Kemendikbud, Kemenristek. Tapi, SWI sangat lemah dan tidak memiliki legalitas yang kuat. SWI gagal memberi solusi terhadap kegagalan masif jamaah umrah. Padahal jika dilihat dari postur kelembagaan SWI seharunya powerful dan minimal memberikan alternatif solusi. Namun semuanya tidak terjadi.

Menteri Agama juga menerbitkan Keputusan No.589 Tahun 2017 yang intinya mencabut izin penyelenggaraan First Travel, mewajibkan pengembalian seluruh biaya jamaah yang sudah mendaftar, atau melimpahkan seluruh jemaah kepada penyelenggara lain (untuk diberangkatkan umrah).

“Menag Lukman Syaefuddin ataupun Fahrul Razi memerintahkan agar semua jamaah yang gagal berangkat itu diberangkatkan secara bertahap atau uangnya dikembalikan. Kenyataannya sudah lebih dari empat tahun tidak ada satu pun jamaah yang gagal berangkat, diberangkatkan negara, bahkan tidak sedikit yang stress dan meninggal tanpa kejelasan.”  

Tags:

Berita Terkait