Bila Presiden Tak Terbitkan Perppu, PSHTN FHUI Serukan Uji Materi UU Cipta Kerja
Utama

Bila Presiden Tak Terbitkan Perppu, PSHTN FHUI Serukan Uji Materi UU Cipta Kerja

PSHTN FHUI sebut proses legislasi UU Cipta Kerja ugal-ugalan yang diduga sudah luar biasa pelanggarannya. Menurut Jimly, kalau para anggota DPR bisa buktikan bahwa mereka belum dibagi naskah final RUU Cipta Kerja, sangat mungkin dinilai penetapan UU tersebut tidak sah dan bisa dibatalkan MK.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit

Bila Presiden enggan menerbitkan Perppu pencabutan UU Cipta Kerja, PSHTN FHUI menyerukan kepada warga masyarakat untuk bersiap-siap menempuh jalur konstitusional dengan menjadi pemohon dalam pengujian formil dan materil terhadap UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Tetap menjaga akal sehat untuk senantiasa bersikap kritis terhadap setiap kejanggalan yang dilakukan oleh pemerintah maupun DPR,” ajaknya.  

Percayakan ke MK

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof Jimly Assiddiqie melihat naskah RUU Cipta Kerja yang disahkan di DPR, bukan soal jumlah halaman, tapi yang terpenting teks naskah resmi yang standar dan sudah disahkan harus ada dan ril. Pengesahan di DPR bersifat materil, sedangkan pengesahan oleh Presiden bersifat administratif atau formil.

“Coba cek, apa benar ketika disahkan di DPR, naskah finalnya belum ada. Kalau para anggota DPR bisa buktikan bahwa mereka belum dibagi naskah (RUU Cipta Kerja, red) final, sangat mungkin dinilai bahwa penetapan UU tersebut tidak sah dan bisa dibatalkan MK,” kata Jimly saat dihubungi.        

Dia menerangkan sepanjang menyangkut materinya, naskah UU Cipta Kerja itu sudah final setelah pengesahan di sidang paripurna DPR. Setelah itu, tidak boleh lagi ada perubahan substansi karena dalam waktu paling lambat 30 hari, meskipun Presiden tidak mengesahkan sebagamana ditentukan Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945, RUU yang sudah mendapat persetujuan bersama itu sah menjadi UU.

“Setelah disahkan sebagai tanda persetujan bersama, materinya tidak boleh berubah lagi. Praktik di dunia, yang dianggap boleh berubah hanya koreksi atas clerical error atau spelling saja,” ujar Mantan Ketua MK yang pertama ini.  

Terkait usulan Perppu, Jimly menilai sama saja dengan ngeledek atau ngenyek Presiden karena Presiden yang berkeinginan sangat kuat untuk dibuatnya UU ini atau hendak menyalahkan para menteri dengan mengadu mereka dengan Presiden. Menurutnya, jalan satu-satunya menyelesaikan polemik UU Cipta Kerja hanya di MK yang berwenang menilai konstitusionalitas norma UU dengan putusan yang mengikat baik materinya maupun hal-hal lain di luar materi (uji formil), seperti tentang proses pembentukannya.

“Kalau tidak percaya, ya tidak apa-apa, tapi tidak ada forum lain yang tersedia, kecuali demo berjilid-jilid sampai Pilpres 2024. Tapi risikonya bahaya penularan Covid-19 dan melanggar protokol kesehatan. Selain itu, efek samping demo, emosi, kerusuhan, penyusupan provokator adu domba, dan emosi petugas yang mencelakakan rakyat. Jadi, percayakan saja ke MK sebagai the judges know the law (ius curia novit).”

Tags:

Berita Terkait