BPK Janji Lebih Garang Pantau Rekomendasi Hasil Pemeriksaan
Berita

BPK Janji Lebih Garang Pantau Rekomendasi Hasil Pemeriksaan

Jika hasil pemeriksaan tidak ditindaklanjuti, BPK akan terapkan sanksi sesuai Pasal 20 UU No. 15 Tahun 2004.

ANT/Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Harry Azhar Aziz. Foto: Sgp
Harry Azhar Aziz. Foto: Sgp
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berjanji ke depan akan lebih garang dalam memantau tindak lanjut rekomendasi atas hasil pemeriksaan atas laporan keuangaan entitas, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. "Semua rekomendasi yang terkait pemeriksaan, kita akan mulai angkat Pasal 20 (UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara)," kata Ketua BPK Harry Azhar Azis di Jakarta, Selasa (4/10).

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 20 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pejabat pada entitas yang bersangkutan wajib menindaklanjuti rekomendasi BPK.Jika melanggar ketentuan tersebut, BPK tak segan-segan mengenakan sanksi kepada pejabat tersebut.
Sanksi sesuai pada Pasal 26 Ayat 2 UU tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yaitu pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.

Dalam pemantauan tindaklanjut rekomendasi hasil pemeriksaan, secara keseluruhan sejak tahun 2010 sampai dengan Semester I 2016, BPK telah menyampaikan 283.294 rekomendasi hasil pemeriksaan BPK kepada entitas yang diperiksa. Seluruh jumlah rekomendasi itu senilai Rp247,87 triliun. (Baca Juga: Ini Empat Permasalahan Temuan BPK dalam Pemeriksaan LKPP Tahun 2014)

Dari jumlah tersebut, sebanyak 34.507 rekomendasi atau 12,2 persen belum ditindaklanjuti. Sedangkan 172.909 rekomendasi atau 61 rekomendasi sudah ditindaklanjuti dan sesuai dengan rekomendasi BPK.Sementara itu, sebanyak 75.123 rekomendasi atau 26,5 persen masih dalam proses atau tindaklanjutnya belum sesuai dengan rekomendasi BPK.

Sedangkan sisanya sebanyak 755 rekomendasti atau 0,3 persen tidak dapat ditindaklanjuti. "Kami ingin menegaskan bahwa keterbukaan dan tanggung jawab keuangan negara telah mengalami perbaikan. Meskipun begitu, pemerintah harus terus menerus meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan negara," ujar Harry.

Beban Biaya
Pada kesempatan tersebut, Harry mengungkapkan telah terjadi pembebanan biaya yang tidak semestinya diperhitungkan dalam pengembalian biaya operasional (cost recovery) sebesar Rp2,56 triliun di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Temuan tersebut diperoleh setelah BPK melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas perhitungan bagi hasil dan komersialisasi migas pada SKK Migas dan KKKS. "Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa BPK berhasil mengungkapkan adanya pembebanan biaya biaya-biaya yang tidak semestinya diperhitungkan dalam cost recovery sebesar Rp209,88 juta dan AS$194,25 juta atau totalnya ekuivalen senilai Rp2,56 triliun,"katanya. (Baca Juga: Pemeriksaan BPK Tak Bertujuan Menghambat Penyerapan Anggaran)

Laporan keuangan SKK Migas sendiri pada 2015 lalu memperoleh opini Tidak Wajar (TW) setelah empat tahun sebelumnya memperoleh WTP. Opini TW itu diberikan karena pengakuan kewajiban diestimasi atas imbalan pasca kerja berupa Manfaat Penghargaan atas Pengabdian (MPAP), Masa Persiapan Pensiun (MPP), Imbalan Kesehatan Purna Karya (IKPK), dan Penghargaan Ulang Tahun Dinas (PUTD) senilai Rp1,02 triliun, tidak disetujui oleh Kementerian Keuangan.

Hal tersebut berkenaan dengan tidak adanya penutusan hubunga kerja (PHK) terhadap pegawai BP Migas pada tanggal 13 November 2012 lalu itu. Selain itu, adanya piutang abandonment dan site restoration (ASR) kepada delapan KKKS senilai Rp72,33 miliar belum dilaporkan. “Meskipun kewajiban pencadangan ASR telah diatur dalam klausul perjanjian (production sharing contract)," ujar Harry.
Tags:

Berita Terkait