Buah Pikir Prof Mochtar Kusumaatmadja pada Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum
Terbaru

Buah Pikir Prof Mochtar Kusumaatmadja pada Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum

Awalnya, ia mengkritik Kurikulum 1972 untuk dapat lebih memperhatikan penelitian dan peningkatan kemampuan ketrampilan dan kemahiran penerapan hukum mahasiswa.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Guru Besar Hukum Pidana FH UI Prof Topo Santoso. Foto: FKF
Guru Besar Hukum Pidana FH UI Prof Topo Santoso. Foto: FKF

Kurikulum pendidikan tinggi hukum terus mengalami dinamika. Terlebih, pasca kontribusi besar yang dilakukan Prof Mochtar Kusumaatmadja untuk reformasi pendidikan tinggi hukum. Ia mengajukan usulan pada Konferensi Antar Dekan di Yogyakarta Tahun 1962 ketika dirinya masih menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Usulan tersebut antara lain dilakukan perubahan terhadap sistem studi bebas menjadi sistem studi terpimpin dan mengadakan kursus upgrading tenaga pengajar FH.

Meski sempat terjadi stagnansi, sejumlah buah pikir Prof Mochtar akhirnya mulai terrealisasikan melalui kurikulum 1972 atau dikenal sebagai kurikulum minimum menjadi perubahan resmi pertama dari kurikulum FH yang dapat dipandang sebagai usaha atau langkah pertama ke arah pembaharuan pendidikan hukum di Indonesia.

Kurikulum 1972 ini memiliki ciri-ciri sistem studi terpimpin, ujian yang dilakukan secara tertulis, penulisan karya tulis atau skripsi untuk diuji menjadi sarjana sebagaimana yang baru diwajibkan pada pertengahan tahun 1960-an, serta terdapat kewajiban dosen menyusun silabus, dan juga menyediakan bahan perkuliahan satu tahun.

“Dalam pembaharuan kurikulum ini, dikedepankan sistem tanya jawab untuk menumbuhkan sikap agar mahasiswa lebih aktif,” ujar Guru Besar Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Topo Santoso dalam presentasinya dalam Webinar Prof Mochtar Kusumaatmadja dan Kontribusinya Bagi Hukum Indonesia dengan topik “Kontribusi Prof Mochtar Kusumaatmadja dalam Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia”, Selasa (7/6/2022).

Baca Juga:

Kemudian masuk pada kurikulum 1983 yang disebut sebagai kurikulum inti, didasarkan pada surat keputusan tentang kurikulum inti bagi pendidikan hukum. Kurikulum Inti dapat dikatakan sebagai lanjutan dari Kurikulum 1972 dalam bentuk lain. Meski beberapa ciri dari kurikulum 1972 tetap dipertahankan, namun terdapat perkembangan terkait mata kuliah dalam kurikulum 1983 dari kurikulum sebelumnya hanya 28 lebih mata kuliah kemudian menjadi 50 lebih mata kuliah. Pada Kurikulum ini yang berlaku sistem kredit semester (SKS), sehingga dosen diwajibkan untuk menyelesaikan perkuliahan dalam semester yang bersangkutan.

“Ini kritik Prof Mochtar terhadap kurikulum 1983 yang dianggap menampakkan kekakuan. Kemudian tidak memperhatikan sarana dan prasarana untuk menerapkan sistem SKS itu, dan seterusnya. Kritik Prof Mochtar yang lain tertuju pada harusnya lebih diperhatikan penelitian dan peningkatan kemampuan ketrampilan dan kemahiran penerapan hukum. Jadi sebetulnya sejak 1983, kritik Prof Mochtar tentang kurangnya ketrampilan dan kemahiran hukum itu sangat mengemuka dan menjadi cikal-bakal lahirnya kurikulum 1993.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait