Bukti Elektronik Sering Kandas Akibat Frasa ‘nya’
Seribu Wajah UU ITE Baru:

Bukti Elektronik Sering Kandas Akibat Frasa ‘nya’

Frasa ‘hasil cetakannya’ dalam Pasal 5 ayat (1) membuat suatu bukti elektronik harus dapat dihadirkan tak hanya dari hasil capture (gambar) melainkan bukti elektronik tersebut harus dapat juga diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Sudah sewindu, UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berlaku. Pada 27 Oktober 2016 kemarin, pemerintah dan DPR sepakat merevisi dan menambah sejumlah ketentuan baru dari UU Nomor 11 Tahun 2008 ke dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Salah satu poin penting yang dalam implementasinya masih banyak menimbulkan pertanyaan adalah mengenai bukti elektronik. Meski ketentuan tersebut tidak direvisi, pembuktian dalam bukti elektronik masih sering keliru dilakukan oleh pihak berperkara. Hal itu disampaikan oleh Kepala Sub-Direktorat Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Teguh Arifiyadi.

“Ada banyak kesalahan mendasar tentang bukti elektronik. Pertama, Pasal 5 UU ITE disebutkan, tiap informasi elektronik dan atau bukti elektronik atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Kalimat itu simple, tetapi dimaknainya jadi rumit,” katanya kepada Hukumonline, awal Desember kemarin.

Menurut Teguh, ada kebiasaan keliru yang terus dilakukan sewaktu menghadirkan suatu bukti elektronik. Dalam persidangan, biasanya para pihak hanya membawa bukti elektronik berupa hasil capture (gambar) misalnya dari sebuah laman seperti Facebook atau E-mail yang berisikan informasi yang diduga melanggar tindak pidana. Sementara, Facebook atau E-mail yang dimaksud biasanya sudah tidak bisa diakses lantaran telah tidak aktif kembali (deactive).

Padahal, kunci utama dari sebuah bukti elektronik terdapat pada frasa ‘hasil cetakannya’. Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008 tegas menyebutkan bahwa setiap informasi/dokumen elektronik baru dianggap sah sebagai alat bukti sepanjang dapat diakes, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. (Baca Juga: Sudah Banyak UU Akui Alat Bukti Elektronik)

“Setiap informasi dan/atau dokumen atau hasil cetaknya. Ada kata ‘nya’. Kata ‘nya’ itu me-refer ke dokumen elektronik yang asli. Dua-duanya harus tetap ada. Bukan berarti cetak itu sama dengan elektroniknya,” kata Teguh menegaskan.
Bab III
Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik

Pasal 5*
  1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
  2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
  3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
  4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;dan
b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

*UU Nomor 11 Tahun 2008

Kekeliruan kedua, baik pengacara maupun penuntut umum biasanya menghadirkan bukti elektronik dengan membuka informasi atau dokumen elektronik yang asli secara langsung dengan membawa perangkat elektronik ke muka pengadilan. Padahal, kata Teguh, kaidah ilmu forensik digital tegas melarang bukti asli elektronik dibuka dalam suatu persidangan. (Baca Juga: Perkuat Bukti, Penggunaan UU ITE Diperkenankan)

Menurut SOP ilmu forensik, bukti elektronik baru bisa ditampilkan di muka pengadilan setelah data asli tersebut dilakukan kloning. Hasil kloning data yang telah dianalisa itulah yang disampaikan oleh ahli digital forensik di muka pengadilan. Kata Teguh, data asli tidak dapat ditampilkan lantaran ketika perangkat elektronik itu dinyalakan, maka Log (catatan akses ke perangkat) akan berubah dimana hal itu berpengaruh terhadap nilai pembutian yang menjadi rendah.

“Kalau ahli forensik menyatakan asli, maka bukti elektronik itu dapat diakses dan ditampilkan. Karena pertanggungjawabannya berdasarkan keahliannya. Sudah dijamin keutuhannya juga,” katanya. (Baca Juga: Ahli Forensik, ‘Kunci’ Sahnya Bukti Elektronik di Pengadilan)

Kepada Hukumonline, Teguh menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban menghadirkan ahli digital forensik dalam setiap kasus yang berkaitan dengan informasi atau dokumen elektronik. Namun, untuk bisa memastikan bahwa suatu informasi atau dokumen elektronik dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan sebagaimana Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008, dapat dilakukan dengan menguji secara ilmiah bukti elektronik tersebut.

Keberadaan ahli digital forensik dalam pembuktian suatu kasus yang berkaitan dengan bukti elektronik, mestinya dinilai sebagai sesuatu yang meningkatkan nilai pembuktian dari suatu alat bukti mengingat kompetensi dan kewenangan serta dukungan perangkat yang memadai dari ahli digital forensik.

“Ilmu Digital Forensic mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 2000an dan semakin berkembang sejak tahun 2010 seiring dengan meningkatnya bukti elektronik yang digunakan untuk kepentingan penyidikan dan persidangan,” jelas Teguh.

Untuk diketahui, ketentuan Pasal 5 UU ITE sebetulnya tetap alias tidak dilakukan revisi dalam UU Nomor 19 Tahun 2016. Dalam revisi UU ITE terbaru, yang diubah hanyalah menambahkan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik berupa hasil intervensi atau penyadapan, atau perekaman. (Baca Juga: Bukti Elektronik dan prosedur Perolehan Perlu Diatur dalam Sistem Peradilan)

Penambahan Penjelasan tersebut sejalan dengan Putusan Mahakamah Konstitusi (MK) Nomor 20/PUU-XIV/2016. Dalam amar putusannya, MK menegaskan dan menambahkan frasa ‘khususnya’ terhadap frasa ‘Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik’. Alasan MK saat itu adalah agar tidak terjadi penafsiran bahwa putusan tersebut akan mempersempit makna atau arti yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE dan untuk memberikan kepastian hukum keberadaan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti. (Baca Juga: Dua Ahli Jelaskan Risiko Menghapus Pasal 5 UU ITE)
Penjelasan Pasal 5*

Ayat (1)
Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggara Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.

Ayat (2)
Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Huruf a
Surat yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.

Huruf b
Cukup jelas.

*UU Nomor 19 Tahun 2016

Tidak Berhenti di Bukti Elektronik
Partner dari firma hukum Assegaf Hamzah & Partners, Ahmad Maulana mengatakan bahwa dalam banyak kasus, informasi atau dokumen elektronik biasanya tidak akan berdiri sendiri. Lazimnya, informasi atau dokumen elektronik hanya akan mendokumentasikan sebagian peristiwa hukum tertentu dalam sebuah perikatan antara para pihak. Namun, hal itu sangat bergantung juga dari jenis sengketanya.

“Tapi tergantung juga sengketanya, misalnya masalah ada saat pembeli tidak mau membayar dan barang sudah diantar dan kesepakatan jual beli terjadi secara elektronik. Tapi seringkali, peristiwa jual belinya itu tidak semua terjadi di elektronik,” kata Alan –sapaan akrab Ahmad- kepada Hukumonline.

Dalam beberapa kasus, lanjut Alan, ia tak hanya berhenti untuk menelaah dari bukti elektronik lantaran bukti elektronik tidak menjadi satu-satunya alat bukti dalam perkara yang berkaitan dengan transaksi keuangan. Tentunya, akan ada bukti transaksi lainnya yang bisa dipakai seperti misalnya transaksi yang melibatkan pihak lain atau setidaknya pihak lainnya itu mengetahui secara langsung bahwa ada perpindahan barang yang menjadi objek transaksi. (Baca Juga: Dilema Cyberbullying dan Euforia Media Sosial)

Dari transaksi yang melibatkan pihak lainnya itu, maka alat bukti lainnya bisa didapatkan. Ambil contoh misalnya, perbuatan hukum yang terdokumentasi itu biasanya disertai dengan alat bukti fisik dan melibatkan orang-orang yang melihat secara langsung atau bisa sebagai keterangan saksi. “Di beberapa kasus, hal itu diperkuat dengan beberapa berita acara yang memang persetujuan dilakukan secara elektronik tetapi barang itu yang terima petugas di lapangan, (dan) tidak terhadap petugas yang terkait sistem elektronik,” jelas Alan.
Tags:

Berita Terkait