Buruh Persoalkan Objek dan Subjek TUN
Berita

Buruh Persoalkan Objek dan Subjek TUN

Majelis meminta agar kerugian konstitusional yang dialami para pemohon perlu dipertajam.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Kuasa Hukum Pemohon Arief Suherman saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang perdana Pengujian UU PTUN, Selasa (20/1). Foto: Humas MK
Kuasa Hukum Pemohon Arief Suherman saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang perdana Pengujian UU PTUN, Selasa (20/1). Foto: Humas MK
Sidang perdana pengujian terkait definisi objek dan pihak ketiga dalam Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) digelar di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (20/1). Pemohonnya delapan orang yang sebagian tercatat sebagai anggota Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB)  yakni Otto Geo Diwara Purba, Syamsul Bahri Hasibuan, Eiman, Robby Prijatmodjo, Macky Ricky Avianto, Joni Nazarudin, Piere J Wauran, dan Waison Des Arnoldi.    

Secara khusus, mereka memohon pengujian Pasal 1 angka 8-12 UU No. 51 Tahun 2009 jo Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait definisi pejabat TUN dan pihak ketiga yang berkepentingan.

“Keberadaan ketentuan itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum,” ujar kuasa para pemohon, Arif Suherman dalam sidang pendahuluan yang diketuai Patrialis Akbar di ruang sidang MK, Selasa (20/1). Patrialis didampingi Wahidudin Adams dan I Gede Dewa Palguna selaku anggota majelis panel.      

Misalnya, Pasal 1 angka 8 menyebutkan, “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 53 ayat (1) menyebutkan “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang…..

Arief menilai kedua ketentuan itu menimbulkan perbedaan penafsiran (multitafsir) oleh sebagian hakim PTUN gara-gara ketidakjelasan frasa “pejabat tata usaha negara” dan ‘pihak ketiga’ yang tercermin dalam gugatan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) atas dua SK Direktur PT Pertamina ke PTUN Jakarta.

Aroef menjelaskan majelis PTUN tingkat pertama mengabulkan gugatan FSPPB yang menganggap SK Direktur PT Pertamina itu termasuk ruang lingkup keputusan Pejabat TUN. Namun, di tingkat banding dinyatakan sebaliknya. SK Direktur PT Pertamina dianggap bukan objek keputusan pejabat TUN. “Seharusnya keputusan Pejabat TUN diartikan secara luas (termasuk keputusan pejabat BUMN). Putusan ini inkracht di tingkat banding,” paparnya.             

Selain itu, ketentuan Pasal 53 khususnya frasa “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan” dinilai menimbulkan  multitafsir. Menurutnya, frasa itu harus diartikan secara luas termasuk pihak ketiga yang kepentingannya dirugikan, tidak hanya seseorang atau badan hukum perdata.

Dalam petitum permohonannya, para pemohon meminta Pasal 1 angka 8-12 sepanjang frasa “pejabat tata usaha negara” bertentangan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai secara luas termasuk keputusan direksi BUMN seperti PT Pertamina. “Pasal 53 ayat (1) UU PTUN sepanjang frasa ‘orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai secara luas meliputi pihak ketiga yang merasa kepentingannya dirugikan termasuk serikat pekerja,” pintanya.

Anggota Panel Wahidudin Adams mempertanyakan legal standing (kedudukan hukum) pemohon apakah mengatasnamakan perorangan atau FSPPB. “Sebaiknya pemohon mengatasnamakan serikat pekerja, sebaiknya cukup diwakilkan oleh pengurus FSPPB saja dengan melampirkan AD/ART serikat pekerjanya,” saran Adams.

Dia juga meminta agar kerugian konstitusional yang dialami para pemohon perlu dipertajam. Sebab, dalam posita permohonan kerugian konstitusional belum tergambar. “Posita permohonan lebih banyak definisi pasal-pasal yang dimohonkan pengujian. Jadi harus dijelaskan apa sesungguhnya kerugian konstitusional pemohon,” tegasnya.

“Soal multitafsir ini juga harus diperjelas, kalau hanya satu atau dua tafsir, berarti belum banyak tafsirnya. Mungkin pengalaman kasus konkrit yang lain perlu dimasukkan!”

Panel lainnya, Palguna mengingatkan permohonan yang hampir sama pernah diputus MK dan putusannya ditolak, meski permohonannya tidak sama persis. “Jadi, Anda perlu melihat putusan sebelumnya dan menguraikan perbedaannya. Coba Anda perhatikan, apalagi putusannya menolak. Ini untuk menghindari pengulangan,” kata dia.
Tags:

Berita Terkait