Cara Membongkar KDRT melalui Peradilan Agama
Resensi

Cara Membongkar KDRT melalui Peradilan Agama

Meski di luar kewenangannya, peradilan agama merupakan institusi strategis untuk menelusuri suatu tindak KDRT. Hakim pengadilan agama pun harus memaksimalkan perannya.

M-3
Bacaan 2 Menit

 

Terkait dengan kekuasaan, bab ini juga menggambarkan roda kekerasan yang merupakan akibat dari ketimpangan kekuasaan laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini menyebabkan munculnya sudut pandang laki-laki dalam berbagai produk hukum. Salah satu bentuknya tercermin dalam definisi pemerkosaan dalam Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini menjelaskan bahwa perkosaan terjadi harus bukan pada istri sendiri dan harus dalam bentuk hubungan seksual. Selain itu, tidak dianggap sebagai KDRT. Berangkat dari permasalahan ketimpangan gender tersebut, bab ini pada akhirnya merumuskan perspektif hukum yang adil bagi gender.

 

Adil bagi gender

Perspektif hukum yang adil bagi gender ini kemudian dilihat aplikasinya berdasarkan KDRT dalam perspektif Islam pada Bab III. Penyelesaian permasalahan KDRT dalam Pengadilan Agama memang pada akhirnya akan mengacu pada Hukum Islam. Dalam hal ini, tim penulis menyatakan bahwa Tauhid dapat dijadikan basis relasi yang adil.

 

Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jakarta A. Nawawi Ali mengaku tertarik dengan pembahasan bab III. Nawawi menjelaskan, pada saat peluncuran buku ini (2/7),  bahwa sejak awal dikumandangkan, Islam merupakan pembawa rahmat bagi seluruh alam. Islam memperbaiki, mengangkat, dan mensejajarkan kedudukan status laki-laki dan perempuan yang terbukti pada ayat-ayat Alqur'an dan Sunnah Rasul, ujarnya.

 

Sementara kelanjutan mengenai ketimpangan aplikasi hukum yang adil bagi gender dalam perspektif hukum nasional dibahas secara lebih lanjut dalam bab IV. Bab ini menjelaskan bahwa jenis kekerasan yang diatur dalam UU KDRT dapat dikatakan lebih variatif dibandingkan dengan pemahaman pada KUHP. Variasi ini menunjukkan bahwa selain kekerasan seksual, UU KDRT juga mengenal adanya kekerasan ekonomi dan kekerasan psikis.

 

UU KDRT juga mengenal pengakuan hak-hak korban secara terpadu sehingga korban tidak perlu bolak-balik untuk memperjuangkannya. Namun demikian, persoalan KDRT ini memang bukan kewenangan hakim pengadilan agama, ujar Zainuddin Fajari, Direktur Pratalak PPA Ditjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hakim bersifat pasif merupakan asas yang dijunjung tinggi dalam penyelesaian perkara perdata, tambah Zainuddin.

 

Mengenai penanganan KDRT di Pengadilan Agama merupakan pembahasan dalam Bab V buku ini. Dalam menyelesaikan perkara, Hakim Pengadilan Agama seharusnya lebih berpihak pada korban KDRT. Kiranya diktat ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi para hakim Pengadilan Agama untuk merealisasikan hal tersebut.

 

Meski buku ini ditujukan sebagai panduan Hakim Pengadilan Agama, buku ini juga dapat menjadi referensi bagi siapapun yang membacanya. Misalnya saja, bagi para korban KDRT yang belum siap mengungkap penderitaannya. Membaca buku ini dapat menjadi sarana untuk mengatakan bahwa mereka bukan satu-satunya korban. Hal tersebut bisa menjadi suatu kekuatan positif bagi para korban KDRT dan memberikan panduan langkah apa yang harus mereka tempuh. Ke Pengadilan Agama, misalnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: