Catat! Ini 5 Kiat Advokat Terhindar dari Kriminalisasi
Berita

Catat! Ini 5 Kiat Advokat Terhindar dari Kriminalisasi

Mulai menjaga ucapan, hati-hati dalam setiap tindakan, mengenai klien, menolak perkara dengan baik hingga memahami kode etik.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Kasus yang ditengarai merupakan bentuk kriminalisasi advokat akhir-akhir ini semakin marak. Sebut saja tuduhan yang dilayangkan kepada mantan Komisioner KPK Bambang Widjajanto, yang akhirnya di-seponering Jaksa Agung M Prasetyo, kasus Timotius Tumbur Simbolon dan Jemmy Mokolensang, dua advokat yang tengah menunggu putusan hakim PN Jakarta Selatan, dan kasus Rahmiaty Pane.

Tak berhenti di daftar tersebut, baru-baru ini dua pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Tigor Gemdita Hutapea dan Obed Sakti Andre Dominika, juga harus duduk di kursi pesakitan karena dinilai tidak patuh terhadap perintah aparat yang berwenang saat mendampingi buruh dalam aksi yang dilaksanakan di depan istana negara, 30 Oktober 2015 silam.

Rentannya profesi advokat dipolisikan ini menjadi perhatian besar sebagian orang. Apalagi sejatinya advokat memiliki hak imunitas dalam menjalankan tugasnya, sebagaimana telah diatur dalam UU Advokat. Beberapa advokat turut memberikan tips untuk mengeliminasi kemungkinan terjadinya kriminalisasi.

Berikut lima kiat yang berhasil hukumonline rangkum agar advokat jauh dari kriminalisasi:

1.    Jaga Perkataan
Menurut Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma, menjaga kata-kata dalam berbicara merupakan hal utama yang harus dilakukan oleh advokat saat melaksanakan tugasnya. Hal ini mengikat advokat baik di dalam maupun di luar pengadilan. “Sebab ada perkataan yang berpotensi menjerat dia sendiri,” katanya.

Saat menyampaikan sesuatu dalam pendampingan klien, ada kata kunci yang harus diingat oleh advokat. Kata kunci tersebut adalah “patut diduga”. Kata-kata patut diduga bisa digunakan advokat untuk berdalih dari laporan yang mungkin menjeratnya di kemudian hari.

“Advokat ngga bisa asal judge. Tetapi dengan kata ‘patut diduga’, orang itu ga bisa dijangkau. Karena dia menduga, bukan mengkonklusi atau statement. Kalau statement atau konklusi jelas bermasalah karena dia harus membuktikan,” ujarnya ditemui hukumonline, Selasa (29/3).

2.    Hati-Hati dalam Setiap Tindakan
Advokat senior Luhut MP Pangaribuan yang mengawali kariernya sebagai Pengacara Publik di LBH Jakarta pun turut memberikan tips. Kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) ini, advokat harus berhati-hati betul dalam setiap langkah yang diambilnya saat memberikan jasa hukum.

Luhut mewanti-wanti para advokat agar tidak memberikan lubang sekecil apapun untuk orang menyerang balik. “Memang harus lebih hati-hati. Lebih bisa mengoreksi lagi. Jangan membuat loophole (ambiguitas) yang bisa menyebabkan kita diserang. Apalagi yang pro dan kontra,” ungkapnya ditemui dalam kesempatan yang sama dengan Alvon, di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Jakarta.

3.    Kenali Klien dengan Baik
Terpisah, advokat Hasanuddin Nasution lebih mengingatkan para pengemban officium nobile ini untuk mengenali klien beserta duduk perkara yang akan diadvokasikan dengan sangat baik. “Know your client!” tukas pemangku jabatan Sekretaris Jenderal PERADI kubu Juniver Girsang ini melalui sambungan telepon.

Hal ini diperlukan, lanjut Hasanuddin, karena ketika seorang advokat salah mengenali klien beserta perkara yang menempel kepadanya, maka advokat tersebut kelak akan salah dalam mengatur strategi pembelaan. “Kalau itu salah, semua ke belakang akan keliru dan siap-siap aja malah berimbas ke kita,” tegasnya.

4.    Tolak Perkara yang Tak Sesuai
Berikutnya, kata Hasanuddin, advokat harus tebang pilih perkara. Bila dinilai perkara tersebut berpotensi menjerumuskannya, sebaiknya advokat tidak mengambilnya. Hasanuddin menyampaikan ada tiga alasan yang lazim digunakan advokat untuk menolak perkara, pertama tidak sesuai hati nurani, kedua tidak ada dasar hukumnya, dan terakhir tidak sesuai dengan kompetensi advokat.

“Jadi dia perlu memahami kemampuan dan kapasitasnya supaya ngga salah dan jadi dikriminalisasi. Dia kan boleh menyampaikan, ‘maaf ya saya tidak terlalu paham mengenai hal tersebut, boleh ngga saya rekomendasikan teman saya saja yang ahli banget?’,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) ini.

5.    Perkuat Pemahaman atas Kode Etik
Merangkum apa yang telah disampaikan, Hasanuddin mengimbau advokat agar memahami kode etik secara sungguh-sungguh. Menurut Hasanuddin yang juga sering memberikan materi mengenai kode etik dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), profesi yang dijalankan sesuai dengan rambu-rambu yang tepat, akan berhasil menjauhkan setiap individu dari dampak yang buruk.

“Kalau pemahaman kode etiknya cukup baik, menurut saya ini akan mengeliminir dampak yang lebih besar terhadap perjalanan profesi advokat. Kalau advokat, kode etiknya bisa mereka pahami dengan baik, hal-hal seperti ini (kriminalisasi) bisa dihindari,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait