Catatan Pidana Alternatif dalam RKUHP
Berita

Catatan Pidana Alternatif dalam RKUHP

Alternatif pemidanaan dalam RKUHP diharapkan terwujudnya keadilan restoratif (pemulihan keadilan).

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Menurutnya, pelaksanaan alternatif pemidanaan mesti diimbangi penguatan faktor pendukung, khususnya terkait ketersediaan sumber daya manusia yang cukup menjalankan pidana pengawasan. Termasuk membuat sistem manajemen pidana pengawasan yang efektif, selain persoalan infrastruktur pendukung. Peran keberadaan komunitas masyarakat pun dibutuhkan terkait dengan pengawasan pidana kerja sosial.

 

Dia menambahkan penjatuhan pidana atau pidana alternatif tidak hanya menjadi tanggung jawab hakim. Sebagai sebuah sistem, penjatuhan pidana ini menjadi tanggung jawab semua pihak yang berkepentingan mulai kepolisian, kejaksaan, penasihat hukum, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), KPK. Menurutnya, kerja sama yang baik antara lembaga tersebut dapat mendorong efektivitas alternatif pemidanaan.

 

“Jika salah satu unsur lembaga yang termasuk dalam criminal justice system itu masih mengedepankan pidana penjara, maka tujuan pemidanaan dalam RKUHP tidak akan tercapai,” katanya.

 

Keadilan restoratif

Anggota Panja RKUHP, Arsul Sani mengatakan melalui alternatif pemidanaan diharapkan terwujudnya keadilan restoratif (pemulihan keadilan). Menurutnya, pidana alternatif terbagi menjadi empat yakni pidana (penjara/kurungan), denda, pengawasan dan kerja sosial. Khusus terhadap pidana pengawasan dan pidana kerja sosial mesti dilaksanakan 3 tahun sejak hukum pidana nasional (KUHP baru) ini berlaku (disahkan).  

 

“Sedangkan penerapan KUHP baru setelah 5 tahun diundangkan sebagaimana waktu yang diberikan UU ini untuk mempersiapkan penerapan pidana alternatif dalam mencapai keadilan restoratif,” ujar Arsul.  

 

Menurutnya, cara pandang pemidanaan Indonesia berubah atau bergeser dari retributif menjadi restoratif sebagaimana tercermin dalam proses legislasi hingga implementasi regulasi. DPR, kata Arsul, berupaya mengawal penerapan keadilan restoratif melalui hukum pidana nasional ini.

 

“tantangan terbesar penerapan pidana alternatif yakni dengan mengubah cara pandang penegakan hukum dan stigma masyarakat terhadap pelaku tindak pidana,” ujar Anggota Komisi III DPR ini.

 

Karena itu, diperlukan prakondisi terhadap perubahan cara pandang ini. Yang pasti, kata Arsul, keadilan restoratif mensyaratkan mutlak partisipasi masyarakat. “Tidak hanya pada tahap implementasi, tetapi sejak tahap merencanakan dan mempersiapkan pidana alternatif,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.

Tags:

Berita Terkait