Peraturan Presiden (Perpres) No.13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, yang baru saja diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 5 Maret 2018, masih meninggalkan sejumlah celah. Salah satunya tidak disebutkan secara jelas sanksi bagi korporasi yang tidak melaporkan pemilik manfaat atau Beneficial Ownership kepada regulator terkait.
Dalam Pasal 24 Perpres No.13 Tahun 2018, korporasi yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 14, dan Pasal 18 sampai dengan Pasal 22 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(Baca Juga: Parpol, Ormas Hingga Law Firm Pun Wajib Laporkan Pemilik Manfaat)
Perpres No.13 Tahun 2018 |
Pasal 3:
Pasal 18:
a. pendiri atau pengurus Korporasi; b. notaris; atau c. pihak lain yang diberi kuasa oleh pendiri atau pengurus Korporasi untuk menyampaikan informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi. Pasal 19:
a. penyampaian informasi Pemilik Manfaat dalam hal Korporasi telah menetapkan Pemilik Manfaat; atau b. penyampaian surat pernyataan kesediaan Korporasi untuk menyampaikan informasi Pemilik Manfaat kepada Instansi Berwenang dalam hal Korporasi belum menetapkan Pemilik Manfaat.
Pasal 20:
Pasal 21: Korporasi wajib melakukan pengkinian informasi Pemilik Manfaat secara berkala setiap 1 (satu) tahun. Pasal 22:
a. dokumen perubahan Pemilik Manfaat dari Korporasi; b. dokumen pengkinian informasi Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan c. dokumen lain terkait informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi. |
Dalam keterangannya kepada Hukumonline, Ketua Tim Perumus Perpres Nomor 13 Tahun 2018, Yunus Husein mengatakan, sanksi yang dimaksud dalam aturan Presiden tersebut dikembalikan kepada regulator masing-masing sesuai dengan bidang dan jenis usaha dari korporasi tersebut. Ia mencontohkan jika korporasi tersebut bergerak di bidang keuangan, maka regulator yang dimaksud adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Kita kembali ke aturan regulator dan sudah ada aturannya semua. Ada sanksi administrasi, kalau melakukan pidana ya di luar itu ya, udah jelas siapapun dia (yang terindikasi) melakukan pidana ya kena pidana,” terang Yunus.
Hak Akses
Kemudian mengenai hak akses yang ada pada Pasal 27 ayat (3) yang menyebut Pemberian informasi Pemilik Manfaat secara elektronik oleh Instansi Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberian hak akses kepada instansi peminta. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan instansi peminta yang dimaksud yaitu penegak hukum, instansi pemerintah dan otoritas berwenang dari negara atau yurisdiksi lainnya.
(Baca Juga: Perpres Beneficial Ownership Demi Jaga Integritas Korporasi)
Selanjutnya bagaimana mekanisme jika ada permintaan dari negara lain terkait korporasi yang ada di Indonesia?” Iya inti dari transparansi sebenarnya itu, itu yang diminta, yang up to date, transparansi dalam konteks itu. Nanti ada MLA, pertukaran informasi melalui PPATK, Central Authority itu maksudnya jalur-jalur internasional, yang ada kaitannya dengan alat bukti.
Sementara itu, Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menjelaskan mengenai sanksi yang diberikan berkaitan dengan Perpres tersebut. Menurut Dian, Perpres ini hanya mengatur secara umum mengenai pengertian korporasi dan juga pemilik manfaat dari korporasi itu sendiri. Dan untuk sanksi dikembalikan kepada peraturan perundang-undangan yang ada sesuai dengan bidang dan jenis dari korporasi itu sendiri.
“Persis seperti itu, Perpres mengatur berbagai badan hukum, itu ada peraturan perundang-undangan sendiri maka itu dikembalikan lagi apa itu nantinya sanksi pencabutan usaha, status PT, macam-macam dalam konteks jelas dia sebagai pelaku pasif atau aktif money laundring itu akan dikenakan pasal UU Nomor 8 Tahun 2010, termasuk UU Terorisme.
Sedangkan berkaitan dengan hak akses, ia berpendapat ada aturan yang lebih mendetail tentang hak akses antar negara. Menurut Dian, saat ini seringkali terjadi tindak kejahatan lintas negara seperti narkotika, terorisme hingga kasus tindak pidana korupsi yang saling berkaitan antara satu negara dengan negara lain, hal ini tentu saja memerlukan kerjasama yang lebih luas untuk mengungkap kasus-kasus tersebut.
“Kewajiban kita juga untuk mendistorse kalau korporasinya di sini indikasi terlibat, bisa dan harus bisa. Kita sekarang korupsi aja sudah lintas batas. Dalam arti ada kasus berkaitan dengan pajak itu dilakukan di luar (seperti Panama Papers), bukan kita saja yang ngasih informasi tapi mereka juga bisa meminta informasi,” pungkasnya.
Poin terakhir berkaitan dengan kepemilikan manfaat sebesar 25 persen yang ada dalam Pasal 4 hingga Pasal 10 sudah bisa dikategorikan sebagai Beneficial Ownership. Jika dilihat angka ini memang terbilang kecil untuk mengendalikan sebuah perusahaan ataupun korporasi, tetapi menurut Dian angka tersebut tidak keluar begitu saja karena sebelumnya telah ada di peraturan perundang-undangan lainnya dan dianggap relevan untuk digunakan dalam aturan ini.
“Ini bukan yang baru, ketentuan perbankan yang dibilang Pemilik Saham Pengendali (PSP) itu 25 persen itu sudah cukup signifikan pengaruhi kebijakan. Ada (di peraturan perbankan) soal pemegang saham pengendali,” tuturnya.
Berikut pasal-pasal dalam Perpres No.13 Tahun 2018 terkait dengan Kepemilikan Saham Hingga Kepemilikan Manfaat sebesar 25 persen dikategorikan ke dalam Beneficial Ownership: