Cermati Keabsahan Klausula Baku Sebelum Dibatalkan Demi Hukum
Berita

Cermati Keabsahan Klausula Baku Sebelum Dibatalkan Demi Hukum

Mulai dari praktik penggunaan model klausula baku konvensional hingga pada kontrak digital.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

Klasula Baku Era Digital

Seiring berkembangnya teknologi, peralihan jenis kontrak konvensional menuju kontrak digital mulai marak digunakan. Kontrak elektronik sah berlaku asalkan memenuhi prinsip Pasal 1320 KUHperdata. Namun dalam praktiknya, tidak sesederhana itu menafsirkan suatu perjanjian/kontrak elektronik telah memenuhi prinsip 1320 KUHPerdata. Hal itu diutarakan Chairman of Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Teguh Arifiyadi.

Salah satu syarat sahnya kontrak dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah subjek hukum yang cakap. Dalam kontrak elektronik, misalnya, tidak ada yang dapat menjamin bahwa yang melakukan transaksi adalah subjek hukum yang cakap. Di AS, kasus semacam ini pernah menjadi persoalan yang serius. Seorang ibu di AS yang mendapat tagihan lebih dari 100 juta dolar AS akibat transaksi game online yang dilakukan anaknya.

Awalnya, si ibu menolak membayar karena berpegang pada dalih anaknya lah yang melakukan transaksi tanpa sepengetahuannya. Akhirnya di Pengadilan ibu itu diputus tetap harus membayar tagihan. Alasannya, AS menganut prinsip single sign on, dimana pengguna android atau i-phone dianggap adalah orang dewasa.

“Jadi siapapun yang menggunakan Iphone itu adalah orang yang memiliki perangkat itu. Karena orang tuanya yang pertama kali melakukan persetujuan, orang tuanya yang mengikatkan diri dengan perangkatnya, maka itu tindakan dia,” jelas Teguh.

(Baca juga: Menjaga Rasa Nyaman Konsumen dan Produsen di Bisnis Daring).

Tak kalah penting, jika berbicara soal kontrak atau perjanjian online, kita tentu sering menemukan penggunaan kata disclaimer baik dalam penjualan produk ataupun jasa. Teguh menyebut,sebetulnya kata disclaimer digunakan di negara-negara dengan sistem hukum common law seperti AS, bukan civil law.

Hukumonline.com

Foto: Teguh Afriyadi (foto: RES)

Di Indonesia sendiri, tak diatur secara eksplisit apakah ada larangan dalam penggunaan disclaimer. Hanya saja, disclaimer di Indonesiabisa diartikan sebagai sebuah klausula baku dengan bentuk pelepasan tanggungjawab. Dengan begitu, penggunaan disclaimer diperbolehkan di Indonesia tergantung pada itikad baik penggunaannya.

Teguh Arifiyadi mencontohkan, klausula ‘pecah berarti membeli’ yang biasa ditemukan di toko pecah belah, itu bisa dikatakan disclaimer atau klausula baku. Penting digaris bawahi, disclaimer semacam itu tak bisa serta merta berlaku terhadap konsumen. Harus dilihat apakah sudah ada usaha yang layak dan itikad baik pelaku usaha untuk melindungi barangnya agar tidak mudah jatuh atau pecah.

Contoh lain, bila suatu marketplace mencantumkan disclaimer ‘tidak bertanggung jawab dalam hal pengiriman barang’ misalnya, karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab sepenuhnya ada di pihak perusahaan jasa pengiriman. Disini, perlu diketahui terlebih dahulu, apakah betul marketplace sama sekali tak memiliki ‘kuasa’ atas proses pengiriman barang? Bila ternyata memiliki kuasa, maka disclaimer seperti itu bisa batal/tidak berlaku.

Dalam diskusi yang sama, Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Bambang Sumantri mengingatkan agar pelaku usaha tak melimpahkan tanggungjawab kepada pihak lain bila tak ingin klausula baku yang diaturnya batal demi hukum. Hubungan hukum yang berlaku, tetap antar para pihak dalam perjanjian. Klausul-klausul yang memberatkan konsumen juga diharapnya dihindari oleh para pelaku usaha. “Karena Indeks keberdayaan konsumen kita belum kritis, hanya sebatas mampu,” tukasnya.

Tags:

Berita Terkait