Corporate Lawyer Ini Kritik Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum
Utama

Corporate Lawyer Ini Kritik Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum

Associate Ginting & Reksodiputro Law Firm ini menilai kurikulum Fakultas Hukum yang dipandang belum match antara pembelajaran perkuliahan dengan kebutuhan praktik. Sebelumnya, Hakim Konstitusi Prof Saldi Isra juga pernah menyampaikan kritik atas kurikulum FH di Indonesia.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Advokat Lewi Aga Basoeki. Foto: Istimewa
Advokat Lewi Aga Basoeki. Foto: Istimewa

Kurikulum mahasiswa Fakultas Hukum kembali mendapat perhatian profesi hukum. Dalam salah satu tweet yang di-posting oleh Associate Ginting & Reksodiputro Law Firm, Lewi Aga Basoeki pada akun Twitter pribadinya @legabas mengkritik kurikulum mahasiswa Fakultas Hukum di Indonesia belum memenuhi kebutuhan praktik di lapangan. Banyak respons netizen yang sependapat dengannya.

Gue nggak tahu ya, tapi ada yang salah di dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Gak match antara yang diajarkan di ruang kuliah sama yang terjadi di lapangan. Dari semua anak magang yang gue temui sepanjang 11 tahun jadi corporate lawyer (termasuk gue juga), mereka kelabakan pas pertama kali disuruh baca akta anggaran dasar,” cuitnya pada Senin (21/2/2022) yang mendulang retweet sebanyak 3,1 ribu dengan 24,1 ribu likes.

Setelah dihubungi melalui sambungan telepon oleh Hukumonline, Rabu (23/2/2022), Konsultan bidang Bank and Finance itu menjelaskan dia tergabung dalam bagian dari profesional development committee dan juga mentoring intern yang masuk. Adapun dari hasil observasi yang dia lakukan, dirasa terdapat gap (kesenjangan) antara apa yang diajarkan di fakultas hukum dan yang terjadi dalam praktik.

(Baca Juga: Kurikulum Tinggi Hukum Harus Sesuaikan Kebutuhan Praktik)

Aga menilai masih banyak mahasiswa yang belum mengetahui atau sekedar membaca akta perusahaan sebelumnya. Padahal, hal tersebut banyak ditemui dalam praktik di lapangan. Untuk itu, dia berpendapat dalam kurikulum perkuliahan pada fakultas hukum seharusnya menggabungkan antara teori dan praktik yang menjadi pembeda dengan pembelajaran di dunia kuliah dengan SMA.

“Misalnya ketika kuliah hukum perikatan, dulu hanya belajar soal teorinya. Apa saja syarat sah perjanjian, apa syarat pinjam-meminjam, apa syarat menyewa? Begitu, hanya level pengenalan, tapi tidak sampai ke level praktik. Katakanlah disuruh buat perjanjian sederhana, mengimplementasikan Pasal 1320 KUHPerdata ke dalam perjanjian sederhana. Apakah mahasiswa bisa melakukan hal itu? Jawabannya bisa iya, bisa enggak. Kembali ke mahasiswanya juga, karena dosen hanya menjadi pemantik,” ungkapnya.

Lulusan Universitas Indonesia dan University of Leiden itu melanjutkan memang pada dasarnya terdapat sejumlah mahasiswa yang memiliki pemahaman terkait praktik dengan terbantu oleh organisasi keilmuan seperti Moot Court, Debat Hukum, atau semacamnya. Tetapi dia mempertanyakan bagaimana dengan mahasiswa yang tidak mengikuti organisasi itu?

“Mungkin yang kuliah pulang-kuliah pulang ini secara teori jauh lebih pintar, tapi kalah sama yang ikut organisasi. Pertanyaannya bagaimana sebagai fakultas, lembaga pendidikan, bisa meminimalisir kesenjangan pemahaman yang ada (perihal praktik),” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait