Damos Dumoli Agusman, “In House Lawyer” Pemerintah Spesialis Hukum Internasional
Profil

Damos Dumoli Agusman, “In House Lawyer” Pemerintah Spesialis Hukum Internasional

Keberadaan Indonesia adalah produk hukum internasional. Maka, Indonesia tidak bisa lepas dari eksistensi hukum internasional itu sendiri.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional yang menjadi bagian dari Kementerian Luar Negeri ini adalah organisasi yang unik. Dalam pengertian dia tidak ada di Kementerian dan Lembaga (K/L) lainnya. Kalau di berbagai K/L mungkin sering ada bagian kerja sama ekonomi atau bagian investasi, misalnya. Tapi khusus kerja sama internasional hanya ada Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional di Kementerian Luar Negeri. Ini artinya bahwa isu mengenai hukum internasional, isu perjanjian internasional adalah kompetensi agak absolut dari Kementerian Luar Negeri.

 

Sehingga Ditjen ini adalah satuan kerja yang nggak bisa kita temui padanannya di lembaga negara lain. Tugas pokok dan fungsi kami antara lain menyiapkan kebijakan, regulasi, dan penyikapan Indonesia mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hukum internasional, perjanjian internasional, dan relasi antara hukum nasional dengan hukum internasional. Ini keunikannya. Anda tidak akan menemui yang seperti ini di Kementerian dan Lembaga lainnya.

 

Sebagai negara berdaulat, apa saja yang perlu menjadi perhatian Indonesia dalam tren perkembangan hukum internasional? Apa pentingnya kita memperhatikan isu ini?

Pertama bahwa Indonesia di dalam pembukaan UUD itu sudah sangat jelas mengatakan bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu dan seterusnya. Ini artinya bahwa lahirnya Indonesia itu sebenarnya di-driven atau dari produk hukum internasional. Makanya pembukaan internasional mengatakan itu. Jadi norma yang dirujuk oleh pembukaan UUD itu adalah norma hukum internasional. Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa itu kan norma hukum internasional. Baru setelah itu dia membuat konstitusi. Nah dari sini saja kita sudah dapat menyimpulkan bahwa Indonesia sangat menghormati hukum internasional dan menempatkan hukum internasional sebagai starting point sebenarnya. Berdasarkan hukum internasional itulah negara lahir. Setelah lahir kemudian dia membentuk konstitusi. Jadi originally DNA kita itu adalah negara Indonesia sebagai produk hukum internasional. Oleh sebab itu Indonesia tidak bisa lepas dari eksistensi hukum internasional itu sendiri.

 

Namun ada dinamika. Ini dinamika yang tidak bisa kita nafikan bahwa kita mencapai kemerdekaan dengan melawan penjajah Belanda yang notabene adalah bagian dari negara-negara kolonial pembentuk hukum internasional, ada sentimen politik. Kita menjadi terlihat seolah-seolah anti hukum internasional. Padahal sebenarnya tidak. Kita sentimen anti penjajahan. Itu saja. Tetapi karena kebetulan penjajah itu adalah the author of international law, pada waktu itu menyebabkan ada gerakan nasionalisme. Gerakan inilah yang mengakibatkan terjadi dinamika.

 

Seolah-olah kita menyangkal hukum internasional, which is not true. Saya bilang itu tidak benar karena pada era 70an hingga 80an, Profesor Mochtar Kusumaatmadja justru memanfaatkan hukum internasional untuk konvensi hukum laut tentang negara kepulauan. Jadi kalau pada masa itu kita terlihat anti pada hukum internasional dan ada gerakan nasionalisme hukum, itu sebenarnya hanya gerakan politik ketimbang gerakan doktrin hukum.

 

Kenapa? Pak Mochtar ternyata mengkapitalisasi hukum internasional untuk kepentingan bangsa yaitu Archipelagic State (negara kepulauan-red.). Dengan adanya konsep Archipelagic State ini kan Indonesia justru memproduksi satu norma hukum baru. Makanya, dikatakan Indonesia itu making international law instead of breaking it. Indonesia membuat, ketimbang melanggarnya. Nah dari konteks sejarah ini maka kita harus putuskan bahwa Indonesia justru ambil bagian dalam hukum internasional itu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait