Dampak dan Tantangan Digitalisasi Sektor UMKM
Berita

Dampak dan Tantangan Digitalisasi Sektor UMKM

Masa pandemi Covid-19 ini menjadi momentum mendorong percepatan transformasi digital.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan oleh pemerintah untuk mencegah penyebaran virus Corona berdampak pada perubahan perilaku masyarakat dalam berbelanja. Keberadaan belanja online menjadi kebutuhan yang menjadi pilihan paling aman saat interaksi fisik terbatas akibat virus Corona.

Menurut Chief Economist PT Permata Bank, Josua Pardede, perubahan perilaku konsumen dengan membatasi interaksi fisik dan mengurangi aktivitas di luar rumah terbukti dapat memberi peluang lebih besar kepada UMKM yang sudah terhubung dengan ekosistem digital untuk bertahan atau bahkan melaju di tengah pandemi.

Digitalisasi meminimalkan kontak secara langsung, yang berarti juga ikut berperan meminimalkan risiko penyebaran virus Covid-19. Karena itu, salah satu tantangan berat yang perlu dilakukan adalah meningkatkan literasi manfaat UMKM masuk ke ekositem digital dan inkubasi untuk mengakselerasi kesiapan UMKM. “Sayangnya peluang tersebut belum dimanfaatkan secara optimal oleh UMKM,” kata Josua dalam sebuah webinar, Jumat (19/6/2020). (Baca Juga: Ini Tujuan Transformasi Digital Memasuki Masa Normal Baru)

Menurut Josua, dari sekitar 64 juta populasi UMKM di Indonesia, baru 13 persen saja yang telah terhubung ke ekosistem digital. Selain itu, perlu adanya perhatian akan ekses digitalisasi kepada sektor UMKM.

Ekses digitalisasi dimaksud seperti kurangnya kejelasan status kemitraan dalam ekosistem digital; adanya praktek pemanfaatan hasil market intelligence untuk pengembangan produk atau usaha yang dapat berdampak langsung pada melambatnya pertumbuhan usaha UMKM; dan kurangnya keberpihakan kepada warung tetangga dan beberapa jenis usaha UMKM yang pada dasarnya sulit untuk digitalisasi, sehingga berdampak semakin berkurangnya pelanggan usaha warung dan UMKM tersebut.

UMKM yang terhubung ke ekosistem digital pun, lanjutnya, masih menghadapi tantangan terutama terkait kesiapan baik dari sisi produk maupun pelaku/SDM. “Literasi digital untuk UMKM perlu diperkuat melalui berbagai kanal media yang mudah diakses untuk menjangkau UMKM sebanyak-banyaknya,” kata dia.

Dalam menghadapi pandemi Covid-19 sejumlah daerah sudah melaksanakan PSBB. Kebijakan PSBB membatasi aktivitas masyarakat termasuk di sektor ekonomi karena hanya bidang tertentu yang boleh beroperasi selama PSBB. Pandemi Covid-19 melahirkan kebiasaan baru bagi masyarakat yakni meminimalisir kontak langsung. Karena itu, peran teknologi sangat membantu masyarakat melakukan kebiasaan ini.

Sebelumnya, Staf Ahli Bidang Transformasi Digital Kreativitas, dan SDM Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Mira Tayyiba, mengatakan masa pandemi ini momentum mendorong percepatan transformasi digital. Dia menjelaskan selama PSBB, infrastruktur, dan layanan digital menjadi tulang punggung berbagai kegiatan produktif, seperti bekerja dan belajar dari rumah. Bahkan perdagangan elektronik mampu menjadi penggerak ekonomi di tengah pandemi.

“Sektor digital khususnya e-commerce menjadi salah satu penggerak ekonomi selama PSBB antara lain dengan memfasilitasi penyerapan produk sektor yang paling terdampak seperti pertanian dan UMKM, serta mendorong sektor logistik,” kata Mira Tayyiba sebagaimana dilansir laman ekon.go.id, Selasa (16/6/2020) kemarin.

Melalui analisa data atau big data, Mira menerangkan pemerintah terbantu untuk memahami penyebaran Covid-19, perilaku/respon masyarakat, dan efektivitas pelaksanaan PSBB yang digunakan sebagai basis penyusunan intervensi kebijakan yang lebih tepat dan cepat. Meski di masa pandemi, Mira menilai sektor digital masih tumbuh dan perlu dukungan digital talent/digital-skilled worker. Peluang pengembangan aplikasi lokal masih terbuka luas mengingat saat ini aplikasi yang banyak digunakan berasal dari luar negeri.

Mira mengingatkan keamanan dan perlindungan data pribadi wajib dilakukan di tengah derasnya informasi. Kemampuan memilih dan memilah informasi juga penting. “Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat menjadi kunci bagi pengelolaan dampak dan percepatan penanganan pandemi ini,” sambungnya.

Menurut Mira, transformasi digital bukan sekedar memindahkan offline menjadi online atau paper-based menjadi computer based. Diperlukan juga penyesuaian pola pikir dan strategi serta konsisten dalam implementasi. Dia mencatat sedikitnya ada 5 tujuan transformasi digital setelah PSBB atau memasuki masa new normal (normal baru). Pertama, untuk memenuhi realisasi potensi ekonomi digital tahun 2025 sebesar U$D133 miliar untuk Indonesia dan U$D300 miliar untuk ASEAN. Potensi ekonomi itu menunjukan hampir setengah potensi ASEAN ada di Indonesia.

Kedua, merespon perkembangan revolusi industri. Ketiga, transformasi ekonomi. “Jika ingin keluar dari middle income trap, diperlukan pertumbuhan ekonomi 5,7-6,0% yang membutuhkan penciptaan lapangan kerja, peningkatan investasi, dan peningkatan produktivitas,” papar Mira.

Keempat, sebagai akselerator pemulihan ekonomi nasional. Kelima, penguat pondasi perekonomian untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Menurut Mira Indonesia punya modal awal yang baik untuk melakukan transformasi digital. Tahun 2019, populasi dengan internet mencapai 180 juta orang (67 persen), pengguna internet aktif 150 juta orang (56 persen), pengguna layanan daring 105 juta orang (39 persen), dan 32 persen dari populasi berusia 20-39 tahun yang tergolong cepat mengadopsi teknologi.

Tags:

Berita Terkait