Ketiga, terkait tanggung jawab platform, UU ITE juga belum memadai menjadi rujukan dalam pengaturan platform digital dengan berbagai model bisnisnya. Seperti aggregation platforms, social platform, hingga mobilization platforms. Menurut Wahyudi, kondisi ini sering memunculkan perdebatan sektoralisme pengaturan yang berujung pada kerugian pengguna untuk dapat menikmati secara penuh hak atas informasi.
“Untuk itu, semestinya proses amandemen UU ITE dapat mengakomodasi prinsip-prinsip penting mengenai platform digital itu,” sarannya.
Wahyudi melanjutkan perlu memastikan aturan yang dirumuskan tidak kaku, sehingga mampu memberikan ruang untuk setiap invensi dan inovasi teknologi, serta dapat secara baik memfasilitasi pengembangan setiap kreasi dan inovasi berbasis digital. Selain itu, pengaturan platform digital, prinsip netralitas jaringan (net-neutrality) juga harus menjadi elemen penting yang diperhatikan.
Berdasarkan sejumlah catatan ini, revisi UU ITE tak dapat semata-mata dilakukan secara terbatas, tapi dalam rencana revisi secara menyeluruh (total). Belum lagi, dalam beberapa tahun belakang, terdapat proses legislasi yang bersinggungan dengan UU ITE. Seperti pembahasan RUU Pelindungan Data Pribadi, RUU Keamanan Siber, amandemen terhadap UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi.
Menurutnya, perlu memastikan pengaturan yang harmonis dan minim risiko bagi pemangku kepentingan, dengan terlebih dahulu pemerintah dan DPR merumuskan arah dan model politik hukum pengaturan teknologi informasi dan komunikasi ke depan. Seperti apakah tetap dengan model penyatuatapan melalui UU ITE yang berlaku yang mengatur berbagai materi. Mulai sistem elektronik, transaksi elektronik, hingga kejahatan elektronik.
“Prinsipnya, dalam merespon cepatnya inovasi teknologi, hukum perlu bersifat supel, yang berarti mampu mengantisipasi setiap perubahan di masa depan,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) M. Mahfud MD menyebutkan pemerintah bakal melakukan revisi terbatas pada UU 19/2016 untuk menghilangkan multitafsir dalam penerapannya. ”Itu semua untuk menghilangkan multitafsir, menghilangkan pasal karet dan menghilangkan kriminalisasi,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, di Kemenkopolhukam Jakarta, Selasa (8/6/2021) kemarin.