Beberapa Alasan Penerapan UU ITE Perlu Dilonggarkan
Berita

Beberapa Alasan Penerapan UU ITE Perlu Dilonggarkan

Kompleksitas kejahatan siber tetap perlu pembaharuan dalam UU ITE, khususnya terkait pemidanaan agar menjadi jelas dan menjawab permasalahan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Diskusi Publik UU ITE: Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE, RKUHP'secara daring, Kamis (19/3/2021). Foto: RFQ
Diskusi Publik UU ITE: Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE, RKUHP'secara daring, Kamis (19/3/2021). Foto: RFQ

Pemerintah melalui Tim Kajian, masih terus menyerap masukan terkait rencana merevisi UU No.19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Di sisi lain, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah mengeluarkan kebijakan berupa (SE) Kapolri No.SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudukan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.

Polri menekankan pendekatan restorative justice (pemulihan keadilan), penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui proses mediasi, dalam penanganan kasus dugaan pelanggaran UU ITE. Demi menegakan hukum yang berkeadilan, Kapolri meminta jajaran di bawah agar terus mengedepankan upaya edukasi dan persuasif untuk menghindari dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan demi menjaga ruang digital lebih bersih, sehat, beretika, dan produktif.     

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH Unpad) Bandung, Prof Bagir Manan menilai merelaksasi penerapan UU ITE oleh aparat penegak hukum menjadi kebutuhan sambil menunggu hasil Tim Kajian bentukan pemerintah soal kepastian revisi UU ITE. “Perlu ada relaksasi, pengendoran unsur-unsur yang bersifat dwingend recht,” ujar Prof Bagir Manan dalam “Diskusi Publik UU ITE: Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE, RKUHP” secara daring, Kamis (18/3/2021) kemarin. (Baca Juga: Pandangan 3 Pakar Hukum Terkait Penerapan UU ITE)

Menurut Bagir, ada beberapa alasan untuk merelaksasi penerapan UU ITE. Pertama, berkaca kisah di negeri kincir angin Belanda, pernah ada pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) secara menyeluruh. Praktiknya ada masa peralihan 5 tahun ke depan. Dengan begitu, KUHPer yang lama pun masih berlaku. Tapi, Hoge Raad (Mahkamah Agung) di Belanda dalam keputusannya malah menetapkan pemberlakuan UU yang belum ditetapkan efektif.

“Alasan hoge raad, bagaimanapun juga UU inilah yang akan berlaku. Daripada menerapkan 'macam-macam', kita tetapkan saja sekarang. Kalau kita analogikan, meski UU ITE masih berlaku, mungkin bisa direlaksasi penerapannya sesuai harapan publik,” kata Bagir.

Kedua, dalam prinsip hukum, pidato Presiden Joko Widodo saat mewacanakan merevisi UU ITE beberapa waktu lalu melahirkan legitimate expectation atau harapan yang sah yakni semua tindakan yang bertentangan dengan legitimate expectation dikategorikan sebagai tindakan adiministratif.  Karenanya, niat baik presiden ketika menyampaikan perlunya merevisi UU ITE agar menjadi lebih ringan materi muatannya.

“Jadi tolong kalau masih mau menggunakan UU ITE, maka perhatikan pidato presiden dengan legitimate expectation,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait