Dinamika Ketentuan Hukum tentang Pesangon
Oleh: Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, SH., MH.

Dinamika Ketentuan Hukum tentang Pesangon

Dilihat dari sistem hukum yang dianut oleh suatu negara, pada dasarnya terdapat dua macam sistem hukum, yaitu sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System) dan Eropa Continental (Civil Law System).

Bacaan 2 Menit

 

Jika kedua sistem hukum tersebut di atas dikaitkan dengan kedua jenis sumber hukum perburuhan sebagaimana terurai, maka di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law, sumber hukum perburuhan yang utama pada umumnya adalah kaedah otonom seperti Perjanjian Kerja Bersama. Sedangkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Civil Law System, pada umumnya kaedah heteronom yaitu Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah merupakan sumber hukum perburuhan yang paling dominan.

 

Faktor lain yang mempengaruhi berkembangnya Kaedah Otonom atau Kaedah Heteronom di suatu negara adalah model Hubungan Industrial yang dianut oleh negara bersangkutan. Dalam hal ini terdapat dua model hubungan industrial yaitu: Corporatist Model dan Contractualist Model. Yang pertama adalah suatu model hubungan industrial dimana peran pemerintah sangat dominan dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja. Kemudian, model keserikatburuhannya adalah Single Union. Dalam hal ini serikat buruh diposisikan sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Sedangkan yang kedua, adalah model hubungan industrial dimana peran pemerintah dalam menentukan syarat-syarat kerja sangat minim atau rendah. Selanjutnya model keserikatburuhannya adalah Multi Union System, dimana dalam sistim yang kedua ini, serikat buruh memiliki peran yang besar dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja.

 

Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem Civil Law, menempatkan kaedah heteronom (Peraturan perundang-undangan) menjadi sumber hukum perburuhan yang utama. Oleh sebab itu syarat-syarat kerja dan kondisi kerja tercantum secara lengkap dalam peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah (From the Cradle to the Grave). Dalam situasi demikian, dinamika (perubahan) hukum perburuhan sangat tergantung pada Pemerintah sebagai pembuat sekaligus pelaksana peraturan hukum. Sedangkan Serikat Buruh ataupun Organisasi Pengusaha tidak berperan banyak dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja.

 

Dominasi pemerintah dalam penentuan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja tersebut di atas cocok dengan situasi dan kondisi pada masa sebelum Reformasi yaitu pada Zaman Orde Baru. Pada masa itu Pemerintah seolah tanpa rintangan menetapkan Peraturan Menteri Tenagakerja No. 04 Tahun 1986 yang bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 1964. Hal ini dimungkinkan karena pada waktu itu Indonesia menganut Single Union System. SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) yang awal mulanya bernama FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) ditetapkan sebagai satu-satunya organisasi buruh yang diakui oleh Pemerintah, atau sebagai wadah tunggal kaum buruh di Indonesia, sehingga FBSI atau SPSI pada waktu itu diposisikan sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah. Karena itu ia lebih banyak mendukung kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

 

Setelah Reformasi, wajah ke-serikatburuhan telah berubah. Indonesia tidak lagi menganut Single Union System melainkan Multi Union System. Hal ini tercermin dalam perubahan persyaratan pembentukan Serikat Buruh. Menurut Peraturan Menakertranskop No. 01/Men/1975 tentang Pendaftaran Organisasi Buruh yang berlaku pada masa Orde Baru, Serikat Buruh baru diakui oleh Pemerintah jika Serikat Buruh tersebut berbentuk gabungan Serikat Buruh yang sekurang-kurangnya memiliki satu pengurus di tingkat nasional, 20 pengurus di tingkat Daerah (Propinsi), 15 Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan yang disusun secara vertikal dari Pusat sampai Unit Kerja Tingkat Perusahaan. Dengan demikian serikat buruh yang diakui pemerintah hanyalah serikat buruh yang berbentuk federatif yaitu serikat buruh yang secara horizontal memiliki sedikit-dikitnya 15 serikat buruh lapangan pekerjaan di berbagai sektor. Secara vertikal memiliki 20 pengurus tingkat daerah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

 

Pada saat ini Keputusan Menteri Tenagakerja yang menjadi dasar dianutnya Single Union System di Indonesia dengan sendirinya tidak berlaku lagi setelah atau dengan diundangkannya UU No.  21 Tahun  2000 yang menetapkan bahwa sepuluh orang buruh dapat secara sah membentuk atau mendirikan Serikat Buruh yang sah. Perubahan sistem Keserikatburuhan di Indonesia dari Single Union System ke Multi Union System ini, tidak diikuti pengurangan peran Pemerintah dalam penentuan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja, sehingga meskipun sistim keserikatburuhan di Indonesia saat ini adalah Multi Union System, Serikat Buruh dan Pengusaha tidak memiliki keleluasaan dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja yang sesuai dengan kepentingan para pihak yang membuatnya. Dalam perundingan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja, serikat buruh dan pengusaha terganjal oleh standard minimum atau standard maksimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya Perjanjian Kerja Bersama dan Peraturan Perusahaan tidak bermakna karena hanya merupakan cuplikan dari peraturan perundang-undangan perburuhan yang ditetapkan oleh pemerintah.

 

Dominasi Pemerintah dalam penentuan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja dalam Multi Union System ini mengurangi atau tidak memberikan kesempatan kepada Serikat Buruh dan Pengusaha dalam pembentukan Perjanjian Kerja Bersama. Semua syarat-syarat kerja dan kondisi kerja telah ditetapkan oleh Pemerintah, sehingga Pengusaha dan Serikat Buruh-Pengusaha tinggal melaksanakan apa yang ditetapkan oleh Pemerintah. Oleh karena aktor penentu syarat-syarat kerja dan kondisi kerja adalah Pemerintah bukan Serikat Buruh dan Pengusaha, maka pada akhirnya Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha berlomba-lomba mempengaruhi Pemerintah agar syarat kerja dan kondisi kerja yang ditetapkan Pemerintah tidak merugikan kepentingan mereka.

Tags: