Dinamika Ketentuan Hukum tentang Pesangon
Oleh: Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, SH., MH.

Dinamika Ketentuan Hukum tentang Pesangon

Dilihat dari sistem hukum yang dianut oleh suatu negara, pada dasarnya terdapat dua macam sistem hukum, yaitu sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System) dan Eropa Continental (Civil Law System).

Bacaan 2 Menit

 

Keadaan tersebut akan berulang kembali di masa mendatang jika tidak dilakukan pembaharuan secara mendasar dalam mekanisme penentuan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja. Oleh karena itu perlu adanya perubahan yang mendasar yang disesuaikan dengan sistem keserikatburuhan yang telah berubah dari Single Union System menjadi Multi Union System.

 

Multi Union System menghendaki penentuan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja supaya diserahkan pada proses perundingan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha, bukan didominasi oleh Pemerintah. Dengan demikian jumlah nominal pesangon ataupun mekanisme pembayaran pesangon hendaknya didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dapat dituangkan dalam Perjanjian Kerja Bersama atau dalam Perjanjian Kerja.

 

Selanjutnya materi hukumnya dapat diatur dengan beberapa cara. Pertama, uang pesangon dimasukkan sebagai salah satu unsur dalam gaji/upah. Dalam hal ini pesangon dapat diberikan pertahun semacam gaji ke-13 atau diberikan per-bulan. Cara yang pertama ini lebih sederhana dan praktis, karena pihak Pengusaha dapat mengestimasikan Labor Cost pertahun dan tidak perlu mengeluarkan biaya jika sewaktu-waktu terjadi Pemutusan Hubungan Kerja. Demikian pula bagi buruh ada jaminan penerimaan uang pesangon yang pasti. Kedua, uang pesangon tidak dimasukkan sebagai unsur upah/gaji, tetapi ditentukan dalam jumlah tertentu. Dalam hal ini pesangon diberikan pada saat buruh diputuskan hubungan kerja. Cara yang kedua ini tidak menjamin kepastian diterimanya pesangon oleh buruh, karena hak itu harus diperjuangkan tidak turun dari langit. Demikian pula bagi pengusaha tidak dapat mengestimasi Labour Cost secara pasti dan memakan energi.

 

Peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku dan yang berlaku saat ini menganut sistem atau cara yang kedua. Pada awalnya hal ini tercermin dalam Peraturan Menteri Perburuhan No. 9 Tahun 1964 tentang Penetapan besarnya Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian beserta perubahannya yakni Peraturan Menteri Perburuhan No. 11 Tahun 1964. Kemudian diganti Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 04/Men/1986 tentang Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian. Selanjutnya diganti lagi dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 03/Men/1996 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian di Perusahaan Swasta. Kemudian diganti lagi dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150/Men/2000 tentang Peneyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian di Perusahaan. Akhirnya ketentuan tentang Perhitungan Pesangon ini diatur dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

Perubahan pertama, kedua dan ketiga yang terjadi pada Era Single Union System dapat berjalan mulus, tanpa menimbulkan masalah. Tetapi perubahan keempat dan kelima pada Era Multi Union System tidak berjalan mulus oleh karenanya telah menimbulkan atau terjadi demonstrasi buruh yang dapat mengganggu iklim investai.

 

Berangkat dari kenyataan tersebut, saya berpendapat sebaiknya pada era Multi Union System ini, Pemerintah sudah waktunya mengurangi perannya dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja. Berikan kebebasan kepada Serikat Buruh dan Pengusaha untuk menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerjanya sendiri. Dengan kata lain marilah kita menggeser Pola Hubungan Industrial kita dari Corporatist Model ke Contractualist Model.

 

*) Penulis adalah Guru Besar Hukum Perburuhan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

 

Tags: