Mahkamah Konstitusi (MK) menolak sistem pemilu proporsional tertutup dan memutuskan pemilihan umum 2024 mendatang tetap dengan sistem proporsional terbuka. Hal tersebut diputuskan oleh Hakim MK yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman mengenai gugatan uji materi Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (2), Pasal 386 ayat (2), Pasal 420 huruf c dan huruf d terkait sistem proporsional terbuka dalam UU No.7 Tahun 2017 yang diajukan 14 November 2022 lalu.
Pihak yang mengajukan gugatan UU Pemilu tentang sistem proporsional terbuka tersebut adalah Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanyo, dan Nono Marijono.
MK memutuskan permohonan untuk mengubah sistem pemilu jadi tertutup ditolak seluruhnya. Namun, salah satu dari delapan Hakim MK menyampaikan pendapat yang berbeda, perbedaan pendapat itu diutarakan oleh hakim Arief Hidayat.
Baca Juga:
- MK Putuskan Sistem Pemilu Tetap Terbuka, Pemilih Tetap Coblos Caleg
- Berharap MK Mempertahankan Konstitusionalitas Sistem Proporsional Terbuka
- Arti Sistem Proporsional Tertutup dalam Pemilu
“Bahwa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan pertimbangan hukum sebagai berikut,” ujar Ketua MK, Anwar Usman, Kamis (15/6).
Mengenai dissenting opinion ini pengaturannya dapat dilihat dalam Pasal 14 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:
- Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
- Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
- Dalam hak sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud ayat (2) dan (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.