Diusulkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berkeadilan Jender
Berita

Diusulkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berkeadilan Jender

Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan memerlukan persepsi yang sama dari aparat penegak hukum.

Oleh:
M-5
Bacaan 2 Menit
Diusulkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berkeadilan Jender
Hukumonline

 

Kepala Bidang Advokasi dan Fasilitasi Tindak kekerasan Terhadap Perempuan pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) Retno Adji Prasetiaju mengakui bahwa perlindungan hukum bagi korban kekerasan masih lemah, meskipun sudah ada UU Perlindungan Saksi dan Korban. Retno berharap para penegakan hukum memiliki pandangan yang adil dan berspektif gender dalam SPPT. Koordinasi antar aparat hukum menjadi penting, ujarnya.

 

Pada acara sosialisasi itu, pakar hukum pidana Rudy Satrio Mukantardjo mengatakan bahwa sistem peradilan terpadu di Indonesia memang masih memiliki kelemahan. Aparat hukum masih terbawa sistem konvensional. Padahal UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sudah membuka pintu bagi sistem peradilan yang lebih menghargai dan melindungi perempuan.

 

Sampai saat ini masih ada kasus kekerasan terhadap perempuan di daerah yang mengalami hambatan hukum. Misalnya yang terjadi di Papua. Ada hambatan yang dirasakan dalam pernikahan yang dilakukan secara adat. Para aktivis pendamping kini sedang mengupayakan adanya Perda khusus yang melindungi posisi perempuan dalam perkawinan.

 

Sri Nurherwati dari LBH APIK mengingatkan pentingnya akses bagi korban. Seperti akses terhadap konsultasi dan informasi mengenai proses peradilan. Korban juga harus diberi ruang untuk memaparkan kekerasan yang dia alami. Menurut Sri, kendala yang dihadapi dalam proses pendampingan antara lain adalah banyak perempuan yang menjadi korban juga didudukkan di kursi terdakwa. Selain itu apabila korban dipindahkan kepada pendamping lain banyak korban yang menolak.

 

Hal tersebut karena mereka lebih percaya pada orang yang pertama kali mereka konsultasikan sehingga enggan jika dipindahkan ke pihak lain walaupun pihak lain itu tepat dalam menangani kasus korban. KUHAP tidak mengatur tentang pendampingan atau bagaimana proses melakukan pembelaan. Hambatan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan juga disebabkan aparat hukum tidak sepaham dengan aparat lain. Ada juga karena keraguan dalam melakukan terobosan hukum dan tidak memahami peran pendamping bagi perempuan korban.

 

Komnas Perempuan bekerja sama dengan LBH APIK, Derap Warapsari, serta Pusat Kajian Wanita dan jender Universitas Indonesia mengagas perlunya Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Jender dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP). Sistem ini pada dasarnya sebuah konsep yang disusun untuk dapat dilaksanakan dalam rangka merespon sistuasi yang senantiasa dialami oleh perempuan korban kekerasan yang berbasis gender.

 

SPPT merupakan salah satu terobosan untuk mengubah sistem hukum yang tidak berperspektif jender menjadi berperspektif jender. Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan, Deliana Sayuti Ismudjoko, masih banyak pihak yang belum mengetahui esensi SPPT, sehingga tidak sedikit kasus kekerasan terhadap perempuan mengambang tanpa solusi hukum yang jelas.

 

Oleh karena itu, kata Deliana, perlu langkah bersama seluruh aparat hukum untuk membangun sistem peradilan demikian. Penanganan yang tidak komprehensif dan terpadu akan menimbulkan kelelahan tersendiri bagi aparat yang sudah berperspektif jender ketika menemukan aparat hukum lain masih berbeda pandang dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

 

Untuk memperkuat usulan SPPT, Komnas Perempuan dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat melakukan sosialisasi di Jakarta, Rabu (14/3).  

Halaman Selanjutnya:
Tags: