DJP Tambah Wewenang Account Representative Periksa WP Pasca Tax Amnesty
Berita

DJP Tambah Wewenang Account Representative Periksa WP Pasca Tax Amnesty

Sejauh ini, regulasi yang mengatur terkait Account Representative (AR) tidak menyebut secara eksplisit mengenai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Ratusan masyarakat berjubel mengantre hendak berpartisipasi dalam program Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak di Kantor Pusat Dirjen Pajak, Jakarta, Kamis (29/9).
Ratusan masyarakat berjubel mengantre hendak berpartisipasi dalam program Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak di Kantor Pusat Dirjen Pajak, Jakarta, Kamis (29/9).
Program pengampunan pajak akhirnya resmi berakhir. Program yang telah dimulai sejak Juli 2016 yang lalu ini telah berhasil menampung realisasi uang tebusan mencapai Rp130 triliun (data pukul 17.00 WIB, Jumat 31 Maret 2017), dari total target penerimaan seluruhnya yakni Rp 165 triliun.

Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, AnginPrayitno Aji, mengatakan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan menambah jumlah awak pemeriksa pajak pasca program tax amnesty ini berakhir. Penambahan ini menyusul minimnya SDM fungsional pemeriksa pajak yang jumlahnya tak sampai 5.000 pemeriksa. Padahal, pasca program amnesti pajak ini selesai, DJP melihat potensi besar penerimaan dari wajib pajak yang belum ikut serta dalam program ini.

“Fungsional kita cuma 4.680 sekian,” kata Angin pertengahan Maret kemarin.

Angin melanjutkan, untuk mengatasi kekurangan awak fungsional pemeriksa pajak, pihak DJP akan menambah kewenangan Account Representative (AR) agar dapat juga melakukan pemeriksaan seperti kewenangan yang dimiliki fungsional pemeriksa pajak. Kata Angin, kurang lebih 7.000 awak AR akan segera punya wewenang melakukan pemeriksaan pasca program amnesti pajak ini berakhir. (Baca Juga: Ingat! Penegakan Pasal 18 UU Pengampunan Pajak Pasca Tax Amnesty Berakhir)

Sebagai informasi, AR bertugas untuk melakukan bimbingan atau himbauan dan konstultasi teknis perpajakan kepada wajib pajak. Selain sebagai pemberi layanan konsultasi, AR juga merupakan penghubung antara Ditjen Pajak dengan wajib pajak. Sebagai contoh, ketika usaha wajib pajak diperiksa oleh pemeriksa pajak, AR dapat menyampaikan maskud dan tujuan pemeriksaan, memberikan penjelasan tambahan terkait koreksi dari pemeriksa, maupun menjadi teman berdiskusi tentang implementasi kebijakan perpajakan terbaru.

“Kawan-kawan AR kita yang dulu cuma tugasnya mengimbau kemudian kalau tidak direspon, dia (AR) menyerahkan (hasil laporan) kepada fungsional (pemeriksa pajak). (Pasca Amnesti Pajak) AR ini bisa segera menindaklanjuti himbauan yang tidak direspon yang memang datanya sudah dimiliki secara akurat,” kata Angin.

Pasal 1 angka 2 PMK Nomor 79/PMK.01/2015 Tahun 2015 tentang Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak mendefinisikan AR sebagai pegawai yang diangkat dan ditetapkan pada Kantor Pelayanan Pajak. AR di sini merupakan salah satu ujung tombak penggalian potensi penerimaan negara di bidang perpajakan yang mengemban tugas intensifikasi perpajakan melalui pemberian bimbingan atau himbauan, konsultasi, analisis, dan pengawasan terhadap wajib pajak.

Terkait dengan kebijakan DJP memberikan wewenang tambahan bagi AR, ketentuan dalam PMK Nomor 79 Tahun 2015 memang tidak secara eksplisit menjelaskan perihal itu.  Namun, Pasal 4 PMK Nomor 79 Tahun 2015 menyebut bahwa dalam hal AR menjalankan fungsi pengawasan dan penggalian potensi wajib pajak, AR diberi tugas antara lain melakukan pengawasan kepatuhan kewajiban wajib pajak, menyusun profil wajib pajak, analisis kinerja wajib pajak, dan rekonsiliasi data wajib pajak dalam rangka intensifikasi dan himbauan kepada wajib pajak. Sementara, merujuk dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, juga tak mengatur sama sekali mengenai AR baik dari segi tugas ataupun kewenangan.

“Kawan AR nanti ini langsung bisa lakukan pemeriksaan. Jadi bukan fungsional kawan kita lagi. Fungsional kita cuma 4.680 sekian. AR kita ada 6.000 lebih hampir 7.000. Ini akan double, artinya tenaga SDM kita untuk melakukan tindak lanjut pasca TA (Tax Amnesty) ini yang penting,” kata Angin.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Ken Dwijugiastedi, dalam kesempatan sebelumnya, mengatakan bahwa setelah program amnesti pajak berakhir, maka Ditjen Pajak (DJP) akan melakukan hukum terhadap wajib pajak yang belum mendeklarasikan hartanya. Di satu sisi, lanjut Ken, program ini merupakan hak wajib pajak namun di sisi lain DJP juga punya hak untuk menerapkan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2016.

“Siap-siap Pasal 18 (UU Pengampunan Pajak),” kata Ken saat berbincang di kantornya, pertengahan Maret 2017 lalu.

Wajib pajak, kata Ken, yang menolak membereskan catatan perpajakan masa lalu dengan mengikuti program amnesti pajak ini akan menghadapi risiko pengenaan pajak dengan tarif serta sanksi atas harta yang tidak diungkap dan kemudian diketahui oleh otoritas. Menurut Ken, Pasal 18 UU Nomor 11 Tahun 2016 merupakan wujud keadilan bagi wajib pajak yang patuh dan telah ikut melaporkan hartanya dalam program amnesti pajak.

Ken mengingaktkan, DJP telah bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkenaan dengan permintaan akses data nasabah perbankan yang dapat dilakukan lebih cepat, yakni dalam waktu kurang lebih 14 hari. Nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) itu juga telah diteken dimana salah satu poin kesepahamannya, yakni penerapan pembukaan rahasia nasabah bank dalam rangka pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, dan penagihan di bidang perpajakan.

“Program amnesti pajak adalah hak kalian, tapi DJP juga punya hak jalankan Pasal 18 (UU Pengampunan Pajak),” ujarnya.

(Baca Juga Ulasan Mekanisme Permintaan Data Kepada Perbankan: Penyidik Pajak Akan Dapat Izin Akses Data Nasabah dalam 14 Hari)
BAB VIII
PERLAKUAN ATAS HARTA YANG BELUM ATAU KURANG DIUNGKAP
Pasal 18
(1) Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.

(2) Dalam hal:
  1. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir; dan
  2. Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
(3) Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.

(4) Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama, menyebutkan bahwa berdasarkan data yang dihimpun DJP per awal Maret 2017 lalu, total dana repatriasi yang berhasil dijaring melalui program amnesti pajak baru sekitar Rp 1.200 triliun. Padahal, analisa yang dilakukan DJP menunjukkan bahwa potensi dana repatriasi harta WNI bisa mencapai Rp 3.650 Triliun.

“Jadi ada potensi Rp 2.000 Trilun lagi yang mungkin,” kata Yoga, dalam kesempatan sebelumnya.

Yoga mengingatkan bahwa Indonesia akan ikut serta dalam Automatic Exchange of Information (AEoI), program keterbukaan informasi secara otomatis antar negara yang akan berlangsung September 2018 mendatang. Dalam AEoI nanti, data-data wajib pajak WNI akan semakin terbuka sekalipun telah melakukan penghindaran pajak ke negara lain. Indonesia akan mudah ketika membutuhkan data wajib pajak WNI di negara tertentu karena program AEoI ini menerapkan prinsi resiprokal satu negara dengan negara lainnya.

Yoga menambahkan, DJP akan menegakan Pasal 18 UU Nomor 11 Tahun 2016. Apalagi, saa era keterbukaan informasi tahun depan, wajib pajak yang mencoba melakukan pelarian pajak akan ketahuan oleh otoritas di negara lain. Belum lagi, Indonesia juga telah berkomitmen untuk menerapkan prinsip penghindaran, yakni Base Erosion dan Profit Shifting (BEPS) saat pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 pertengahan Maret lalu di Baden-Baden, Jerman.

“Mereka punya hak untuk tidak ikut TA (Tax Amnesty), tapi kita punya wewenang untuk melakukan eksekusi Pasal 18 yang nanti tidak bisa dihalangi lagi terutama ketika AEoI. Sudah betul-betul jalan pasti ketahuan dan pasti kita lakukan Pasal 18 secara konsisten,” tegas Yoga.

(Baca Juga: Di Hadapan Negara G-20, Indonesia Tegaskan Komitmen Ikut AEoI dan Prinsip BEPS)
Tags:

Berita Terkait