Dosen Bandingkan Kebebasan Beragama di Australia dan Indonesia
Berita

Dosen Bandingkan Kebebasan Beragama di Australia dan Indonesia

Di Australia tidak boleh adzan, di Indonesia ada aturan khusus untuk mendirikan tempat ibadah.

CR-17
Bacaan 2 Menit
Demonstrasi menolak Ahmadiyah (Ilustrasi). Foto: SGP.
Demonstrasi menolak Ahmadiyah (Ilustrasi). Foto: SGP.
Australia tidak mempunyai agama nasional yang resmi dan rakyat bebas untuk memeluk agama apa pun yang mereka pilih, selama mereka mematuhi hukum. Penduduk Australia juga bebas untuk tidak memeluk agama. Demikian disampaikan oleh Dosen University of Wollongong Law School, Nadirsyah Hosen dalam konferensi hukum Indonesia dan Australia di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Selasa lalu (23/9).

“Pemerintah Australia mendorong saling menghormati, pemahaman dan toleransi antar berbagai agama di seluruh kawasan Australia,” ujar Nadirsyah di Surabaya (23/9).  

Pria asal Indonesia ini menjelaskan pada Sensus 2006, 12,7 juta warga Australia menyatakan diri memeluk agama Kristen, sementara ada sekitar 12,6 juta pada Sensus 1996. Namun, dalam proporsi jumlah penduduk keseluruhan, jumlah umat Kristen turun 71 persen menjadi 64 persen. Dalam periode yang sama, penduduk yang beragama non-Kristen naik dari sekitar 600.000 menjadi 1,1 juta dan secara kolektif berjumlah 5,6 persen dari jumlah penduduk keseluruhan pada 2006, dibandingkan dengan 3,5 persen pada 1996.

Aliran Kristen terbesar tetap Katolik (25,8 persen dari jumlah penduduk) diikuti oleh Anglikan (18,7 persen) dan Gereja Pemersatu (5,7 persen). Agama non-Kristen terbesar adalah Budha (2,1 persen), Islam (1,7 persen) dan Hindu (0,7 persen).

Nadirsyah menjelaskan Australia adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen, yaknin sekitar 64 persen. Namun, sebagian besar agama utama juga memiliki penganut, yang mencerminkan masyarakat Australia yang beranekaragam secara budaya.

Lebih lanjut, Nadirsyah memaparkan kebebasan agama dijamin oleh Pasal 116 Undang-Undang Dasar Australia, yang melarang pemerintah federal untuk membuat undang-undang mendirikan agama, memaksakan ajaran agama, atau melarang pelaksanaan ajaran agama dengan bebas. Orang bebas menyatakan keanekaragaman pandangan, selama mereka tidak memancing kebencian agama.

Nadirsyah menjelaskan bahwa di Australia, agama bukan menjadi hal yang sensitif. Bahkan di Australia, agama kerap dijadikan bahan candaan. Sehingga kebebasan beragama sangat lazim ada di Australia.

Jumlah penduduk Australia yang dalam Sensus menyatakan diri tidak memiliki agama naik dari 2,9 juta pada 1996 menjadi 3,7 juta pada 2006 atau hampir 19 persen dari jumlah penduduk keseluruhan.

Dia juga menjelaskan bahwa pendirian tempat ibadah seperti masjid di Australia juga tidak pernah dipersulit walaupun agama Islam merupakan agama minoritas. Namun, memang tidak semua membolehkan kondisi seperti dilakukannya adzan karena suaranya cukup menggangu. Ia mengatakan kebebasan beragama di Australia dibolehkan asal tidak menggangu individu yang lain.

Namun, lanjut Nadirsyah, pendirian tempat ibadah di Indonesia berbeda dengan di Australia. Ia menjelaskan bahwa di Indonesia, untuk mendirikan tempat ibadah, harus mendapatkan persetujuan dari 20 Kepala Keluarga di lingkungan sekitar. Menurutnya, perlindungan terhadap agama minoritas di Indonesia belum tercermin dengan baik, walaupun di dalam Pasal 29 UUD 1945 terdapat klasul kebebasan beragama.

Pasal 29 ayat (2) berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.
Tags:

Berita Terkait