DPR Didesak Mereview Ulang
RUU Adminduk

DPR Didesak Mereview Ulang

Sebagian besar masyarakat yang rentan diskriminasi minta agar RUU Adminduk direview ulang. Masih banyak persoalan HAM dan kependudukan yang perlu diselesaikan. DPR pun akan segera berkirim surat ke presiden.

Oleh:
Tif
Bacaan 2 Menit
DPR Didesak Mereview Ulang
Hukumonline

Keinginan kalangan anggota DPR untuk segera mengundangkan RUU Administrasi Kependudukan (Adminduk) tampaknya mesti ditahan dulu. Pasalnya, pada tahap uji publik yang dilangsungkan di Komsisi II DPR di Jakarta, Kamis (30/11), sejumlah masyarakat khususnya dari kelompok penghayat kepercayaan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komnas HAM mendesak agar dilakukan pembahasan ulang RUU ini.

Desakan ini juga datang dari DPD. Wakil Ketua DPD Laode Ida menegaskan bahwa DPD meminta agar RUU Adminduk dibahas ulang. Rencananya, dalam waktu dekat, Pimpinan DPD akan mengirim surat ke Pimpinan DPR, Komisi terkait yang membahas RUU Adminduk (Komisi II) dan Depdagri agar dilakukan pembahasan ulang.

 

Keinginan DPD ini didasarkan pada kenyataan bahwa selama ini DPD tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU Adminduk. Padahal, Roh Adminduk itu ada di daerah, karena warga negara Indonesia tersebar di daerah, kata Laode. Ia juga meminta kepada masyarakat segera memasukkan usulan perbaikan guna menyempurnakan RUU Adminduk.

 

Ketua Komisi Hukum dan Perundangan (Kumdang) MUI Aisyah Amini menegaskan bahwa RUU Adminduk perlu dilakukan penyempurnaan karena banyak pasal yang dapat menimbulkan multi tafsir.

 

Bagian yang perlu diperbaiki, menurut Aisyah adalah pada bagian menimbang huruf c, setelah kata-kata kesadaran hukum penduduk agar ada tambahan kata dan warga indonesia di luar negeri yang juga dicantumkan pada huruf a dan b. Hal ini dengan pertimbangan bahwa dalam Pasal 26 ayat 2 UUD 1945 yang dimaksud penduduk adalah warga Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

 

Selain itu, Mengingat banyaknya PP yang akan dikeluarkan dalam UU ini, kami menyarankan agar DPR perlu mengikuti RPP sehingga tidak menyimpang dari UU, kata Aisyah.

 

Mantan anggota DPR ini juga mendesak agar agama dicantumkan seperti tercantum dalam Pasal 58 huruf h RUU Adminduk. Alasannya dalam agama Islam jika ada jenazah Muslim maka orang Muslim punya kewajiban atas jenazah itu seperti memandikan, menshalatkan. Bila tidak ada identitas agama, maka suilit untuk melakukan kewajiban atas jenazah tersebut.

 

Mengenai pengangkatan anak, seperti tercantum dalam Pasal 47, MUI mengingatkan pentingnya mengutip Pasal 39 UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak. Beberapa yang disebutkan antara lain pengangkatan anak hanya dilakukan untuk kepentingan terbaik anak dan dilakukan berdasarkan adat setempat serta peraturan yang berlaku.

 

Aisyah mengingatkan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan anak antara anak dengan orang tua kandung. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut anak angkat, pengangkatan anak oleh WNA hanya boleh sebagai upaya terakhir. Khusus untuk asal usul anak tidak diketahui maka agama anak disesuaikan dengan mayoritas penduduk setempat.

 

Tentang pengadilan, bila ada sengketa maka bila orang tua dan anak beragama Islam diselesaikan melalui pengadilan agama. Ini agar menjadi referensi dalam pelaksanaannya, supaya pencatat tidak asal catat saja, papar Aisyah.

 

MUI mengusulkan agar pada Pasal 49 tentang pengakuan anak, ayat (1) setelah kata disetujui ibu dari anak bersangkutan maka ditambahkan kecuali bagi orang yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak hasil hubungan sebelum nikah seperti yang dijelaskan dalam penjelasan pasal 49 ayat 1.

 

Pengakuan anak ini belum ada UU-nya dan demikian juga untuk pengesahannya, sehingga ini bisa cocok dengan UU pengangkatan anak dimana bagi orang yang tidak mengenal tetap diberikan kesempatan sesuai dengan agama. Tapi bagi anak-anak itu tetap dijamin kesejahteraannya, kata Aisyah.

 

Menanggapi usulan MUI yang disampaikan Aisyah Amini, Kelompok penghayat kepercayaan menolak dengan tegas. Selama ini, untuk penghayat kepercayaan tidak pernah tercantum dalam kolom agama pada KTP. Hal ini bahkan ditegaskan dalam Pasal 64 ayat (2) RUU Adminduk.

 

Kami minta pasal tersebut diubah untuk memberi kesempatan agar ada pencantuman agama bagi kelompok penghayat kepercayaan. Jika tidak, pasal ini akan membuka peluang terjadinya diskriminasi terhadap penghayat, ujar salah seorang dari kelompok penghayat kepercayaan.

 

Pelarangan pencantuman agama bagi kelompok penghayat kepercayaan telah juga ditegaskan dalam Surat Mendagri No. 477/707/MD yang ditandatangani Dirjen Kependudukan Depdagri. Surat tertanggal 14 Maret 2006 ini ditujukan kepada Gubernur Jateng guna menjawab surat dari Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Kepercayaan.

 

Mereka meminta rekomendasi Mendagri sehubungan dengan lebih dari 50 pasang penghayat di Cilacap dan Kebumen ditolak pencatatan perkawinannya oleh pencatat sipil setempat. Dalam surat tersebut, Mendagri menolak tuntutan itu dan tetap melarang pencatatan agama bagi kelompok penghayat kepercayaan. Kecuali, para penghayat kepercayaan telah menundukkan dirinya terhadap salah satu agama resmi di Indonesia.

 

Belum Sinkron

Sementara itu, Komisioner Sipil dan HAM Komnas HAM Chandra Setiawan menilai RUU Adminduk ini memerlukan sinkronisasi lebih lanjut. Pasalnya, pada Bab I mengenai definisi warga Indonesia sudah bertentangan dengan UU No.12/2006 tentang Kewarganegaraan yang baru saja disahkan DPR bersama Pemerintah.

 

Perlu waktu untuk pelibatan masyarakat lagi dalam pembahasan RUU Adminduk ini. UU ini jangan kejar target untuk segera disahkan, masih banyak persoalan HAM yang perlu diselesaikan. Jadi hal seperti ini tentu harus dihindari, kata Chandra.

 

Komnas HAM juga mengingatkan bahwa DPR baru meratifikasi kovenan internasional mengenai hak sipil dan hal itu belum dimasukkan dalam RUU ini. Chandra menyatakan bahwa dalam penjelasan RUU ini masih banyak menyebut agama. Padahal di kovenan selalu menyatukan kata agama dengan kepercayaan.

 

Saya pikir karena kita berpegang pada UU HAM dan UUD dan ratifikasi maka kita harus sinkronkan. Terkait dengan anak, juga tidak ditegaskan, karena di UU perlindungan anak ditegaskan akte gratis, tapi di UU ini tidak ada penegasan seperti itu. Paradigmanya jangan menjadi beban warga negara tapi harus pro aktif dari pemerintah, kata Chandra.

 

Chandra mengingatkan bahwa RUU Adminduk ini seharusnya status hukum penduduk diperhatikan dan tidak dicampurkan dengan Catatan Sipil yang tertutup. Ia memperkirakan perhatikan kesulitan yang akan dihadapi masyarakat miskin terkait dengan keterlambatan, karena harus ada biaya yang dikeluarkan serta tidak dijelaskan jika ada kelalaian pejabat dan mekanisme komplain.

 

Kalau kita perhatikan, ada sebagian warga harus melalui pengadilan. Menurut pemantauan Komnas, orang Tionghoa di Kalbar saat terlambat mencatatkan kelahiran mereka harus mengeluarkan biaya Rp 600 ribu. Saya pikir kita tidak memperlakukan pelayanan yang sama, tidak boleh ada diskriminasi atas nama ras, etnis dan kepercayaan, tegas Chandra.

 

Kirim Surat ke Presiden

Uji publik yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB berlangsung seru. Selain dihadiri oleh MUI, Komnas dan Kelompok Penghayat Kepercayaan. Acara itu juga diramaikan dengan partisan dari Walubi, Arus Pelangi dan Kelompok Tionghoa Miskin.

 

Para peserta ini sebagian besar mendesak Komisi II DPR agar RUU Adminduk ini dibahas ulang. Desakan ini disampaikan dengan berbagai macam cara. Ada yang berpuisi, teriak-teriak, bahkan ada juga yang memelas. Seperti yang dilakukan partisan dari Arus Pelangi –LSM yang memperjuangkan hak-hak kaum Lesbian, Gay, Biseksual, Trans seksual dan Trans gender (LGBT). Ya... Pak. Kami ini bingung. Di dalam KTP memang tertulis pria. Tapi, kondisi saya kan seperti ini. Dokter juga bingung. Belum lagi kalau mau ke toilet, ujar Anto—sebut saja demikian—yang disambut tepuk tangan teman-temannya dan pengunjung lainnya.

 

Desakan berupa tuntutan agar RUU Adminduk ini dibahas ulang berlangsung sekitar 2 jam. Tak tahan dengan desakan itu, akhirnya, Ketua Komisi II EE Mangindaan berusaha untuk menyampaikan aspirasi ini ke pemerintah. Kami akan segera berkirim surat ke presiden, tandasnya.

 

Meski demikian, Mangindaan mengingatkan kepada para wakil masyarakat yang rentan diskriminasi bahwa RUU Adminduk masih akan berkait dengan UU lainnya. RUU Adminduk dibuat bukan untuk menyelesaikan semua masalah secara hantam kromo, karena UU ini nantinya masih terikat dengan UU lain, tandasnya.

 

Koleganya, yang juga Ketua Timus RUU Adminduk Sayuti As Syathri menegaskan bahwa RUU Adminduk ini nantinya memaksa adanya pencatatan perkawinan bagi masyarakat yang rentan diskriminasi, khususnya bagi penghayat kepercayaan. Sayuti menegaskan bahwa jika dalam pelaksanaannya terdapat diskriminasi, maka ada pasal sanksi yang sudah mengatur tentang hal itu. Aparat bisa kena sanksi, penduduk juga bisa kena sanksi. UU ini memberlakukan sanksi yang seimbang antara aparat dan penduduk, kata Sayuti. 

Tags: