DPR Tunggu Sikap Pemerintah Terkait Tindak Lanjut Putusan UU Cipta Kerja
Utama

DPR Tunggu Sikap Pemerintah Terkait Tindak Lanjut Putusan UU Cipta Kerja

Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 ini dinilai menggantung atau tidak berani tegak, lurus, dan tegas dengan logika hukum yang dibangun.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Dengan begitu, aturan turunan UU 11/2020 yang telah diberlakukan masih tetap berlaku. Sebagai bagian tindak lanjut dari putusan MK, Pemerintah bakal menyiapkan berbagai materi perbaikan dari UU Cipta Kerja. “Kita akan melaksanakan sebaik-baiknya arahan MK sebagaimana tertuang dalam putusan MK tersebut,” ujarnya.

Kehilangan legitimasi

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai berdasarkan amar putusan MK tersebut, pemerintah dan DPR dianggap melanggar secara formil prinsip-prinsip pembuatan UU sebagaimana diatur dalam UU 12/2011, sehingga dianggap pula melanggar konstitusi yang mengatur kekuasaan membentuk UU.

Meskipun putusannya inkonstitusional bersyarat dimana Pemerintah diberi kesempatan memperbaiki, kata Isnur, Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 ini menggambarkan kekeliruan yang prinsipil. Sebab, UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya masih tetap berlaku, padahal sudah dinyatakan cacat formil. Menurut YLBHI dan LBH seluruh Indonesia, Pemerintah telah kehilangan legitimasi untuk menerapkan/melaksanakan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang telah diterbitkan.  

Pasca putusan MK, pemerintah dan DPR harus sadar atas kesalahan mendasar dalam pembentukan UU dan tidak mengulanginya. Dia mengingatkan kekeliruan serupa pernah dilakukan saat merevisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK; UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Mineral Batubara, dan UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

“Maka saatnya penting untuk menghentikan segera UU ini dan seluruh PP turunannya demi mencegah timbulnya korban dari masyarakat dan lingkungan hidup,” pintanya.

Selain itu, Pemerintah harus menghentikan berbagai proyek strategis nasional yang telah merampas hak-hak masyarakat dan merusak lingkungan hidup. Padahal, jauh sebelum ada putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, berbagai kelompok masyarakat di berbagai wilayah menilai UU 11/2020 melanggar konstitusi.

Di sisi lain, kata Isnur, ketidakpercayaan terhadap MK terjawab. Sebab, Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 merupakan bentuk kompromi. Menurutnya, putusan tersebut menyebutkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima, dan hanya mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian.

Tags:

Berita Terkait