Dua Tahun UU Advokat: Memperketat Saringan, Meredam Persaingan
Fokus

Dua Tahun UU Advokat: Memperketat Saringan, Meredam Persaingan

Istilah barrier to entry baru punya arti negatif ketika dimaksudkan untuk mencegah atau mempersulit lahirnya advokat-advokat baru yang akan menjadi saingan. Sebuah ide yang sekadar memikirkannya saja sudah membuat sebal.

Amr/Nay
Bacaan 2 Menit

Melalui ujian yang laksanakan oleh organisasi advokat (bar exam) inilah calon advokat diseleksi secara ketat  untuk memilah mana yang layak dan yang tidak. Karena itu, bar exam dianggap sebagai sebuah "pertaruhan masa depan" oleh para calon advokat. Persiapan mengikuti ujian pun biasanya dilakukan dengan sangat serius. (Lihat: Ujian Pengacara di Amerika Bisa Bikin Jantungan)

Sejatinya, di negara Paman Sam tidak diperlukan pendidikan khusus untuk menjadi seorang advokat. Jika calon pengacara merasa perlu mendapat pendidikan khusus agar dapat lulus ujian, maka ia bisa mengikuti bimbingan tes yang banyak diselenggarakan. Namun, perlu diingat bahwa Fakultas Hukum atau Law School di AS merupakan pendidikan graduate (S2).

Di Australia, persyaratan untuk menjadi solicitor berbeda dengan persyaratan untuk menjadi barrister atau advocate. Untuk menjadi solicitor, setelah lulus S1, mereka harus mengikuti pendidikan (Professional Legal Training) yang terdiri dari pendidikan teori selama 15 minggu dan bekerja di kantor hukum yang mereka tentukan sendiri selama 70 hari. Setelah itu, mereka akan mendapat sertifikat praktek dari Law Society.

Untuk menjadi barrister, seorang lulusan S1 harus menjalani program tutorial dengan seorang barrister tertentu yang memenuhi syarat selama 12 bulan. Setelah itu, mereka harus mengikuti bar exam, baru kemudian bisa berpraktek sebagai barrister. Dalam kenyataannya, sangat jarang lulusan S1 yang langsung menjadi barrister. Biasanya mereka menjadi solicitor dahulu, baru kemudian menjalani program tutorial dan mengikuti ujian untuk menjadi barrister. 

Untuk urusan magang, di beberapa negara juga menerapkan sistem yang kurang lebih sama dengan di Indonesia. Menurut penelitian yang pernah dilakukan PSHK, Hadi mengatakan bahwa aturan di Belanda mewajibkan magang bagi para calon advokat. Demikian pula dengan Singapura, meski penerapannya tidak sama persis dengan yang diterapkan di Indonesia. Dalam kaitannya dengan magang ini, dia kembali menyayangkan kelambanan Peradi dalam menyusun mekanisme magang bagi calon advokat.

Tidak ada kejelasan

Ketentuan magang juga bukan soal yang mudah untuk dirumuskan oleh Peradi. Bagaimana tidak, Peradi tidak hanya harus memikirkan aturan magang bagi mereka yang murni fresh graduate, tapi juga buat orang-orang yang selama ini sudah bekerja di lawfirm. Hadi melihat bahwa persoalan tersebut tidak boleh dianggap sepele dan tidak bisa diregulasi secara serampangan.

Di mata Hadi ada tiga hal besar yang harus dipertimbangkan secara matang terkait ketentuan magang bagi calon advokat. Pertama, kriteria dari kantor advokat tempat magang; kedua, materi yang akan diberikan kepada calon advokat selama magang; ketiga; daya tampung dari tiap-tiap kantor advokat yang dihubungkan dengan ketersediaan kantor-kantor advokat di berbagai wilayah di Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags: