Efek Kenaikan Cukai, Pabrik-pabrik Rokok Ilegal Dikhawatirkan Bermunculan
Berita

Efek Kenaikan Cukai, Pabrik-pabrik Rokok Ilegal Dikhawatirkan Bermunculan

Karena pabrik rokok kelas menengah bawah tidak mampu membayar cukai, dan masyarakat kelas bawah tidak mempunyai daya beli rokok legal.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Pemerintah telah menetapkan rata-rata kenaikan cukai berkisar di angka 23 persen, sedangkan untuk harga jual eceran (HJE) mengalami kenaikan sebesar 35 persen pada 2020. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 Tahun 2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

 

Meski dapat dikatakan rutin terjadi setiap tahun, kebijakan ini masih menimbulkan perdebatan. Pemerintah menginginkan kenaikan cukai dapat meningkatkan penerimaan sekaligus menekan konsumsi rokok pada masyarakat. Di sisi lain, produsen dan konsumen rokok menilai kebijakan ini dapat berdampak negatif terhadap industri dan para pekerja rokok tersebut karena berisiko semakin banyak pabrik-pabrik tutup dan berdampak terhadap peningkatan jumlah pengangguran.

 

Sekretaris Jenderal, Lembaga Konsumen Rokok Indonesia, Tony Priliono menilai terjadi paradoks kebijakan di industri rokok ketika pemerintah ingin menekan jumlah produksi rokok. Di sisi lain, pemerintah mentargetkan penerimaan dari cukai terus meningkat namun kebijakan kebijakan ini dapat membawa mengalami penurunan penjualan.

 

Potensi penurunan penjualan di tahun 2020 cukup besar sekitar 15% untuk tembakau, kemudian untuk cengkeh bisa sampai 30%. Penjualan pun bisa diperkirakan turun dan akan membuat pelaku industri harus melakukan rasionalisasi dengan mengurangi jumlah karyawan, alias melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

 

Menurutnya, kehancuran industri rokok kelas menengah bawah, diperkirakan akan berdampak pada munculnya pabrik-pabrik rokok illegal yang memproduksi rokok murah. “Karena pabrik rokok kelas menengah bawah tidak mampu membayar cukai, dan masyarakat kelas bawah tidak mempunyai daya beli rokok legal,” jelas Tony saat dikonfirmasi hukumonline, Jumat (22/11).

 

Menurutnya, industri hasil tembakau merupakan industri strategis yang kontribusinya terhadap pendapatan negara salah satu yang terbesar, yaitu kurang lebih 10% dari total APBN atau sebesar Rp 200 triliun, terdiri dari cukai, pajak rokok daerah dan PPN. Sekurangnya, industri yang tergabung dalam Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyerap kurang lebih 7 juta lebih jiwa yang meliput petani, buruh, pedagang eceran dan industri terkait.

 

Kemudian, kenaikan cukai rokok juga akan berdampak pada hancurnya pabrik-pabrik rokok kelas menengah bawah. Jumlah perusahaan rokok selama ini terus berkurang, dari 2.540 unit pada 2011, menjadi 487 unit pada 2017. Bahkan ada yang menyebutkan jumlah perusahaan rokok sekarang sudah di bawah 300. Dengan kenaikan cukai diperkirakan akan semakin merontokkan banyak pabrik rokok.

 

(Baca: Tingkatkan Nilai Tambah, Industri Rokok Perlu Roadmap yang Komprehensif)

 

Dari sisi ekonomi, Tony menambahkan dampak lain dari kenaikan harga eceran rokok akan mendorong meningkatnya inflasi. BPS telah mengkaji berbagai kemungkinan terkait dampak kenaikan tarif cukai dan harga rokok eceran terhadap inflasi. Namun demikian, dia belum bisa diperkirakan mengenai besaran dampak tersebut secara pasti.

 

“Tetapi jika tahun depan kenaikan harga rokok meningkat cukup signifikan, maka rokok akan menyumbang inflasi yang cukup tinggi dibanding tahun ini. Dampak kenaikan harga rokok terhadap inflasi akan bergantung pada pola penerapan kenaikan harga rokok tersebut,” jelas Tony.

 

Menurutnya, kenaikan tarif eceran rokok berdampak terhadap inflasi cukup besar. Namun, jika kenaikannya merambat secara perlahan maka dampaknya akan kecil. Pembatasan merokok selain menerbitkan kebijakan yang menghancurkan industry rokok kelas mengenha bawah, perlindungan terhadap masyarakat pertembakauan dan konsumen rokok juga melemah. 

 

Misalnya dalam Rancangan Undang-Undang Pertembakauan, peningkatan produksi tembakau dan pengembangan industri pertembakauan, bermaksud melindungi masyarakat pertembakauan dan pekerja di sektor ini.  Pada kenyataannya kebutuhan tembakau industri rokok nasional saat ini bergantung pada impor yang juga difasilitasi oleh RUU Pertembakauan ini.

 

“Padahal kebijakan impor akan akan lebih menguntungkan pengimpor tembakau dan bukan masyarakat pertembakauan lokal. Selain itu hak konsumen untuk merokok juga semakin dibatasi, dengan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok. Juga tidak tersedianya fasilitas merokok di tempat-tempay umum, seperti di bandara, perkantoran dan hotel. Kalaupun disediakan fasilitas merokok, banyak yang tidak representative. Sikap LKRI sebagai lembaga yang membela hak perokok dan masyarakat pertembakauan,” jelas Tony.

 

Dalam Lampiran PMK 152/2019 disebutkan, besaran kenaikan cukai rokok mulai dari Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Putih Tangan (SPT), dan Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) dan Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF). Pertama, untuk jenis SKM Gologan I buatan dalam negeri dikenakan cukai Rp740 per batang atau gram, yang sebelumnya berkisar di angka Rp590, sedangkan SKM Golongan II dikenakan tarif cukai Rp455 per batang atau gram.

 

Kedua, SPM golongan I dikenakan tarif cukai Rp790 per batang atau gram. Golongan II SPM dikenakan cukai Rp470 per batang atau gram. Ketiga, Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Putih Tangan (SPT). Untuk masing-masing jenis rokok golongan pertama dikenakan tarif cukai Rp330 per batang atau gram, sementara golongan II SKT dikenakan tarif cukai Rp200 per batang atau, dan golongan III-nya dikenakan tarif Rp110 per batang.

 

 Keempat, Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) dan Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF). Jenis rokok ini dikenakan tarif cukai Rp740 per batang atau gram. Lalu ada juga tarif cukai bagi cerutu. Untuk harga Rp495 batas tidak lebih dari Rp5.500, ada cukai senilai Rp275 per batang atau gram. Di atasnya sampai Rp22 ribu ada cukai senilai Rp1.320 per batang atau gram. Sampai harga tertinggi Rp55 ribu dan Rp198 ribu, cukainya senilai Rp11 ribu dan Rp22 ribu per batang atau gram. Di atas Rp198 ribu, maka cukainya senilai Rp110 ribu per batang atau gram.

 

Di luar itu, ada juga Sigaret Kelembak Kemenyan (KLM), Tembakau Iris (TIS), sampai rokok daun atau KLB yang bisa dilihat pada bagian lampiran III. Untuk rokok yang diimpor, tarif cukai untuk SKM dan SKTF berjumlah Rp740 per batang atau gram dengan harga jual terendah Rp1.700. Sementara itu, untuk SPM, tarif cukainya Rp790 dengan harga eceran terendah Rp1.790. Serta untuk SKT atau SPT cukainya senilai Rp425 dengan harga terendah Rp1.461.

 

Tags:

Berita Terkait